Jakarta (ANTARA) - Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang juga anggota DPR RI 2014—2019 Romahurmuziy alias Rommy menyebut jaksa penuntut umum (JPU) KPK memaksakan jabatan "penyelenggara negara" kepada dirinya.

"Penuntut meminjam kedudukan saya sebagai penyelenggara negara karena saya anggota Komisi XI DPR RI, kemudian jaksa mentahkan sendiri dengan mengatakan secara tidak langsung perkara saya tidak ada hubungannya dengan kedudukan selaku anggota Komisi XI DPR," kata Rommy di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Rommy adalah terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap sebesar Rp255 juta dari Kepala Kantor Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Rp91,4 juta dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi.

Rommy dituntut 4 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 5 bulan kurungan ditambah pembayaran kewajiban sebesar Rp46,4 juta subsider 1 tahun penjara dan pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.

"Akan tetapi, kemudian saya dipukul dengan kedudukan saya selaku Ketua Umum PPP. Artinya, penuntut umum mengakui senyata-nyatanya, tanpa kedudukan saya selaku Ketua Umum PPP, saya tidak punya kuasa untuk melakukan apa yang mereka sebut sebagai intervensi," kata Rommy.

Baca juga: Jaksa KPK minta perampasan uang yang disita dari ruangan Lukman Hakim

Baca juga: Mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy dituntut 4 tahun penjara

Baca juga: Rommy ke jaksa KPK: Namanya politisi harus manfaatkan semua momentum


Rommy mengatakan bahwa perbutan JPU tersebut dalam peribahasa Jawa nabok nyilih tangan.

"Memukul dengan 'meminjam' kedudukan saya selaku ketua umum partai. Jadi, dosa saya selaku ketua umum partai ditempelkan kepada diri saya selaku anggota Komisi XI DPR. Itu pun kalau yang saya lakukan selaku ketua umum adalah dosa," ujar Rommy.

Persoalannya, menurut Rommy, seorang ketua umum partai politik tidak, termasuk definisi pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam seluruh peraturan perundang-undangan manapun yang berlaku di Indonesia.

"Dengan demikian, mau ditinjau dari landasan teoritis apa pun, dengan digunakannya Pasal 11 UU Tipikor sebagai tuntutan, dilekatkannya segala atribut yang berhubungan dengan kewenangan seorang ketua umum partai politik ke dalam surat tuntutan adalah haram dan demi hukum harus dikesampingkan," ungkap Rommy.

Alasannya, karena di samping tidak ada rujukan hukumnya, kalau seorang ketua umum partai politik dapat dipidana karena menjalankan kewajibannya yang diperintahkan di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.

Hal ini, menurut dia, jelas-jelas membahayakan demokrasi dan bertentangan dengan undang-undang. Upaya pemidanaan seperti ini hanya lahir dari orang yang tidak paham sistem politik di Indonesia atau orang yang benci dengan keberadaan partai politik sehingga berupaya melakukan upaya deparpolisasi jabatan-jabatan publik meskipun menggunakan baju penegakan hukum.

Baca juga: Rommy mengaku terima uang karena ingin tutupi perbuatan Haris

Baca juga: Rommy merasa dijebak


Rommy pun meminta majelis hakim membebaskannya dari segala tuntutan jaksa KPK.

Terkait dengan perkara ini, Haris dan Muafaq sendiri telah dijatuhi vonis. Haris divonis 2 tahun penjara karena dinilai terbukti menyuap Rommy dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sebesar Rp325 juta.

Muafaq divonis 1,5 tahun penjara karena dinilai terbukti memberikan suap sejumlah Rp91,4 juta kepada Rommy dan calon anggota DPRD Kabupaten Gresik dari PPP Abdul Wahab.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020