Jakarta, 24/11 (ANTARA) ? Daerah konservasi yang tidak menghasilkan kayu dari hutannya kini tak lagi bermuram durja karena mereka bisa memperoleh pendapatan jutaan dolar AS, meski harus tetap harus memelihara kawasan hutan sebagai daerah tangkapan air serta tempat tumbuhnya flora dan fauna.

Perdagangan karbon (CO2) menjadi perhatian utama beberapa daerah yang selama ini bukan provinsi penghasil bahan baku kayu. Dari perdagangan ini, mereka berharap mampu meraup dana tidak sedikit untuk membangun daerahnya, sekaligus tetap mempertahankan tutupan hijau.

Saat ini, perdagangan karbon masih mengacu pada mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mecanism/CDM) yang merupakan produk kesepakatan Kyoto tahun 1997. Sejak protokol Kyoto ditandatangani, negara maju sepakan menekan emisi karbon dioksida rata-rata 5,2 persen selama 2008 ? 2012.

Menyadari potensi dana yang tidak kecil dari berbagai program tersebut, Sumatera Barat menjadi provinsi yang paling agresif menggarap peluang perdagangan ini, meski sampai kini pemerintah belum memiliki pedoman pasti mengenai sistem dan cara penghitungannya.

Untuk mengakselerasi upayanya, Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi bahkan sudah meminta DPRD Sumbar menerbitkan persetujuan atas rencana ini. Persetujuan DPRD diperlukan untuk membawa rencana ini ke menteri dalam negeri.

Keinginan Sumatera Barat itu muncul karena adanya tawaran dari institut international carbon trade dari Australia bernama Carbon Strategic Global (CSG). Tawaran mereka tidak main-main. Jumlahnya mencapai Rp900 miliar per tahun.

Bagi pemerintah provinsi Sumatera barat, dana ini bisa menjadi tambahan berarti untuk mengisi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apalagi, pendapatan itu akan mengalir terus setiap tahun, sepanjang daerah itu mampu menjaga kelestarian hutannya dengan baik.

Menurut Gubernur Sumatera Barat, pihaknya mengusulkan ke CSG menjual oksigen yang dihasilkan 865.560 hektare hutan lindung yang tersebar di sepuluh kabupaten, terdiri dari hutan lindung di kabupaten Solok 126.000 hektare, Solok Selatan 63.879 hektare, Tanah Datar 31.120 hektare, Pesisir Selatan 49.720 hektare, Pasaman 232.660 hektare, Pasaman Barat 56.829 hektare, 50 kota 151.713 hektare, Agam 34.460 hektare, Padang Pariaman 19.894 haktare, Sijunjung 85.835 hektare, dan hutan lindung kota Padang 12.850 haktare.

Meski cukup menjanjikan, DPRD provinsi itu tidak serta merta memberi persetujuan. Mereka meminta rincian yang jelas mengenai hak dan kewajiban masyarakat adat pemilik tanah ulayat yang selama ini terlibat aktif dalam pelestarian hutan lindung.

Ketua Fraksi PAN DPRD Sumatera Barat, Erizal Effendi, mengingatkan agar potensi pendanaan yang besar ini jangan sampai mengakibatkan masyarakat justru dilarang memasuki kawasan hutan lindung. ?Ketergantungan mereka terhadap hutan sebagai penyangga kehidupan masih tinggi,? katanya.

Jika perdagangan karbon terealisir, kata Ketua DPRD Sumatera Barat, Leonardy Harmainy, dana kompensasi terbesar seharusnya diterima kabupaten atau kota yang memiliki kawasan hutan lindung. Sementara menurut penjelasan pemerintah provinsi, 60 persen dari dana ?carbon trade? ini akan dialokasikan untuk kabupaten atau kota, 20 persen bagi pemreintah provinsi, dan sisanya untuk pemerintah pusat.

Selain Sumatera Barat, provinsi lain yang berpeluang memperoleh dana dari perdagangan karbon adalah Lampung. Sekitar 317.615 hektare hutan lindung daerah ini juga dilirik untuk perdagangan karbon

Daerah lain yang sebenarnya juga memiliki potensi besar dari perdagangan ini adalah Bengkulu yang secara tradisional merupakan daerah konservasi untuk Riau dan Jambi serta Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Papua yang tutupan hutannya masih lebih rimbun dari daerah lain.



Patokan nasional

Dengan potensi besar yang bisa digarap Indonesia dalam upaya penurunan emisi global, tidak salah jika departemen kehutanan dituntut mampu secepatnya membuat patokan dalam mekanisme perdagangan karbon, termasuk besaran harga karbon per ton, potensi penyerapan karbon per hektare untuk setiap jenis lahan dan tanaman, alokasi pembagian dana perdagangan karbon, dana kewajiban terkait dengan perdagangan ini.

Masalahnya, pemerintah Indonesia belum mampu meyakinkan lembaga dan perusahaan asing atau negara maju untuk menyetujui mekanisme yang ditawarkan karena aturannya masih akan dimatangkan dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen, Denmark, pada 2009.

Saat ini pun, departemen kehutanan baru menyodorkan beberapa kawasan untuk menjadi sampel bagi penghitungan perdagangan karbon termasuk aturan perjanjian kerjasama Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD).

Padahal, sebanyak 35 perusahaan di Indonesia dan 400 perusahaan asing penghasil emisi tahun lalu telah melakukan perjanjian dengan perusahaan jasa perdagangan karbon Eco Securities. Salah satu perusahaan itu adalah PT Bajradaya Sentranusa yang membangun PLTA di sungai Asahan, Sumatera Utara. Perusahaan itu menandatangi perjanjian dengan perusahaan perdagangan karbon, Eco Securities di Bali Desember lalu.

Yang menarik justru Asisten II Gubernur Lampung Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan (Ekubang), Djunaedi Jaya, dalam ekspose mengenai perdagangan karbon menyebut satu ton karbon dihargai sekitar 1013 dollar Amerika Serikat (AS).



Tanam potensi

Apakah perdagangan karbon ini hanya akan dinikmati daerah yang punya kawasan konservasi maupun hutan lindung saja, tentu saja tidak.

Setiap provinsi punya kesempatan memanfaatkan momentum keinginan dunia mengurangi emisi gas rumah kaca. Dana perdagangan karbon bisa diperoleh selama mereka mampu membangun hutan.

Apakah hutan yang dibangun itu harus hutan lindungan atau kawasan konservasi lainnya, harusnya juga tidak.

Potensi dari pembangunan hutan ini menjadi sangat besar karena Indonesia sendiri dikaruniai kesuburan tanah dan iklim yang sangat mendukung tanaman tumbuh setiap saat, sehingga penyerapan karbon bisa berlangsung setiap saat.

Terkait dengan hal itu, departemen kehutanan menyediakan jalan yang paling mudah. Jalan itu adalah kegiatan penanaman 100 juta pohon yang pencanangannya akan dilakukan Presiden pada 28 November mendatang di Cibinong, Bogor.

Menurut Menhut MS Kaban, kegiatan diharapkan terus mendorong masyarakat untuk mau menanam. ?Menanam itu investasi. Di saat orang kini bingung mau menempatkan dananya karena krisis keuangan telah menggerogoti kepercayaan nasabah kepada perbankan, investasi yang terbaik adalah dengan menanam. Hasilnya jauh lebih besar dari bunga bank konvensional.?

Melalui kegiatan ini, kata Menhut, pemerintah daerah dapat mendorong masyarakatnya terlibat aktif dalam penanaman di bulan November 2008, apapun jenis pohonnya.

Jenis kayu cepat tumbuh (Fast Growing Species) di hutan rakyat akan mensejahterakan masyarakat dari tebangan dalam jangka tujuh tahun, sedang pohon kehidupan (multi Purpose Trees) akan menjamin dalam jangka panjang karena diambil hasilnya berupa buah.

Nampaknya, imbauan Menhut itu ditindaklanjuti berbagai provinsi, di antara kabupaten Gowa Sulawesi Selatan yang berencana menanam 600.000 pohon. Sementara Jawa Timur sudah menyiapkan lebih dari 20 juta bibit untuk kegiatan penanaman tersebut.

Dengan berbagai manfaat dari penanaman 100 juta pohon ini, pemerinah provinsi yang tidak mampu memobilisasi rakyatnya untuk terlibat aktif akan rugi sendiri. Selain bisa langsung memberi hasil kepada rakyat, kegiatan penanaman ini juga mampu menghasilkan dana besar untuk menunjang Pendapatan Asli daerah (PAD). Mau?****6***

(A027/

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008