Jakarta (ANTARA News) - Tidak banyak orang luar Thailand yang mengetahui bahwa di balik pertentangan antara Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) yang didukung oleh kalangan militer dan Raja melawan pemerintah yang merupakan perpanjangan tangan dari mantan PM Thaksin Shinawatra, adalah perjuangan kelas antara si miskin melawan si kaya, orang kota versus orang kampung. David melawan Goliath.

"Masalah dalam krisis politik di Thailand adalah perjuangan kelas," kata Attajak Satayanutak, seorang akademisi dari Chiang Mai yang menjadi kota kelahiran Thaksin.

Sudah beberapa pekan ini para demonstran berbusana kuning dari PAD menjadi sorotan perhatian rakyat Thailand karena secara berkelanjutan berunjukrasa menuntut PM Somchai Wongsawat untuk mundur dari jabatannya karena dianggap kakitangan buron negara, Thaksin Shinawatra.

Kesabaran para pendukung Thaksin menemui batas --tapi bukan karena massa PAD menguasai bandara internasional Suvarnabhumi-- kini mereka menyerang balik dengan menggelar demonstrasi tandingan sambil mengenakan busana serba merah.

Banyak orang percaya bahwa si kuning dan si merah akhirnya benar-benar terlibat baku hantam karena dalam diri mereka cuma ada pilihan, dikalahkan atau mengalahkan, yang oleh BBC disebut sebagai kontes politik "zero-sum game."

Yang membuat para pendukung Thaksin bereaksi balik adalah pernyataan-pernyataan bernada kasar dan merendahkan orang-orang kota terhadap mereka yang dianggap orang kampung, tak berpendidikan, lugu dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini.

"Anda bisa lihat semua orang ini (PAD) adalah orang-orang terpelajar, tapi mereka yang mendukung partai pemerintah adalah orang-orang tak berpendidikan, terutama mereka yang berasal dari utara dan timur laut," kata seorang anggota massa PAD di depan massa seperti dikutip BBC (27/11).

Kalimat ini berulang-ulang dan sangat terbuka dikemukakan orang-orang PAD, bahkan  menyebut jutaan orang desa yang secara konsisten mendukung para politisi pro Thaksin sebagai orang-orang yang gampang disuap atau tidak mengerti apa yang dipilihnya.

Orang-orang utara pun murka dengan tuduhan naif itu.

Ankham Ratanasingha, yang mengelola lahan kecil bersama suaminya di luar kota Udon Thani dan terpaksa meninggalkan bangku sekolah di umur 10 tahun saking miskin namun kini bangga memiliki dua putera lulusan perguruan tinggi, meradang.

"Jika PAD tidak meyakinkanku bahwa versi demokrasi mereka akan menolong rakyat kecil seperti diriku, maka aku akan kuperangi mereka sampai nafas terakhirku.  Mereka mestinya memperlakukan kami secara terhormat, bukan sebagai orang yang seenaknya bisa mereka hina," kata Ankham.

Isaan

Kenyataannya, Thaksin sangat disayangi orang-orang Thailand Utara dan Timur Laut yang umumnya hidup di pedesaan, terpencil dan miskin, serta kerap disebut dengan Isaan.  Kasarnya, apapun kata dunia Thaksin adalah jago mereka.

Orang Isaan sendiri sering menjadi bahan olok-olok orang Thailand, mungkin karena mereka "ndeso," lagipula mereka memang agak berbeda dengan kebanyakan orang Thailand mengingat budaya dan bahasanya lebih dekat ke negara tetangga Thailand yang terbelakang, Laos.

Hinaan itu juga karena orang-orang Isaan adalah penyuplai buruh murah di Bangkok dan kota-kota besar di Thailand tengah.

Tapi mereka adalah salah satu tiga aset terpenting Thaksin karena mereka mengambil sepertiga dari total suara pemilih Thailand.

Thaksin, kata mereka, telah memuliakan hidup mereka yang selama puluhan tahun terpinggirkan.  Rakyat kecil menilai kebijakan-kebijakan Thaksin yang populis seperti jaminan kesehatan universal dan skema pinjaman pedesaan, telah meningkatkan kualitas hidup mereka.

Bagi mereka, Thaksin tidak saja memberi mereka kesempatan, tetapi juga harga diri karena Thaksin memberi mereka bantuan tanpa membuat mereka terlihat kecil dan sederhana.

"Kami memiliki kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang lebar.  Kaum miskin tidak pernah menerima apapun dari negara untuk waktu lama.  Kemudian, untuk pertamakalinya, Thaksin memberikan kesempatan pada kaum miskin hidup layak," kata Attajak Satayanutak, seorang akademisi dari Chiang Mai.

Intinya, mereka mengesampingkan sisi gelap Thasin seperti dituduhkan banyak orang APD, yaitu menyalahgunakan wewenang, melanggar hak asasi manusia dan arogan.

Thaksin adalah politisi pertama di Thailand yang tumbuh besar mengandalkan kekuatan dirinya sendiri, tidak menggantungkan diri pada para penguasa lokal dan mafia yang selama ini menguasai jalur perpolitikan Thailand.

Thaksin berjuang membangkitkan keprihatinan politik di kawasan-kawasan yang kurang melek politik.

Tidak heran jika kemudian orang-orang Isaan murka tatkala orang-orang kota di tengah dan selatan Thailand ramai-rama mengeluarkan komentar-komentar tidak sedap tentang mereka dan Thaksin.

"Mereka yang berpikir orang Isaan mengikuti dengan buta Thaksin Shinawatara pasti telah salah melihat daerah kami. Mereka kini lebih terdidik, dan mereka mengerti siapa dan apa yang mereka pilih," kata Puttakarn Panthong, politisi Isaan yang tidak berafilisasi kepada partai Thaksin.

Lewati batas

Maksud hati menggoda militer Thailand untuk turun lagi melakukan kudeta dengan menduduki bandara internasional Suvarnabhumi, apa daya pendulum dukungan kini berbalik dari PAD, justru orang-orang pro Thaksin semakin yakin mereka ada di pihak yang benar.

"Bahaya terbesar bagi PAD bukanlah dari pemerintah, tentara atau polisi, tetapi dari massa berbusana merah di bawah Front Demokrasi Bersatu Anti Kediktatoran (UDD)," demikian editorial Bangkok Post hari ini.

Kelompok yang mampu menandingi kerusuhan yang didesain PAD dan berbusana merah tersebut selama ini memutuskan untuk menahan diri, berunjukrasa dengan tertib dan teratur, dan samasekali mengambil cara yang lain dari massa PAD yang sengaja memancing kekerasan dan mendistorsi informasi.

Keputusan menduduki Bandara Suvarnabhumi, sebut Bangkok Post, telah merugikan citra PAD sendiri dan telah menggerus sebagian pendukungnya untuk kembali lagi ke rumah mereka, menolak mengikuti demonstrasi yang berakhir rusuh dan membuat Thailand malu terhadap dunia internasional.

"Saya sedih dan kecewa. Saya menyesal telah bergabung dengan unjukrasa ini," kata seorang demonstran seperti dikutip The Nation (27/11).  Berminggu-minggu ia rela bergabung dengan PAD dan ia memahami semua hal aksi militan PAD, tapi saat PAD menduduki bandara ia merasa langkah itu sebuah tindakan berlebihan, sehingga ia memutuskan sampai di sini saja dukungannya pada PAD.

Para pemimpin PAD, demikian The Nation, menolak "Ahimsa" (perjuangan non kekerasan dan non agresi) dengan alasan selama ini mereka menjadi korban dan tidak ada seorang pun yang mau membantu mereka.

Semua pendukung dan orang Thailand memaklumi ini sebagai bagian dari perjuangan mulia menentang rezim tiran, namun saat demonstrasi berubah menjadi ancaman terhadap orang-orang tak berdosa dengan menyandera mereka kecuali PM Somchai mundur dari jabatannya, maka itu sudah melewati batasnya.

"Apa bedanya itu dengan menodongkan pisau pada orang-orang tak berdosa untuk memaksa polisi meletakkan senjata mereka?" demikian The Nation.

Untuk pertamakalinya dalam sejarah, krisis Thailand memasuki sebuah babak yang mungkin  berubah dramatis untuk kemudian menjadi perang saudara, apalagi kedua kubu tidak mau menurunkan syaraf-syaraf tegang mereka.

Bahkan, para pendukung Thaksin mengancam jika militer sampai turun tangan membubarkan lagi pemerintahan sah, maka kini mereka tidak akan tinggal diam.

"Dengarkan wahai tentara. Jika kalian kudeta lagi, aku sendiri yang akan berjalan mendatangimu dengan mengenakan busana merah, rambut merah, pakaian dalam merah, kutang merah, cat kuku merah dan akan melompati tank-tank kalian," ancam seorang perempuan pendukung Thaksin di sebuah radio di Chiang Mai, salah satu basis dukungan Thaksin.

Pertengkaran politik yang meluas akhirnya akan membuat UUD datang menghadapi sendiri PAD dengan skala besar, dan negeri yang pertengahan Desember ini berencana menjadi tuanrumah KTT ASEAN ini pun terancam dalam konflik paling keras di sepanjang sejarahnya.

Tidak saja rakyat Thailand yang harap-harap cemas dengan keadaan ini, namun para pemimpin ASEAN yang dulu tidak berdaya menghentikan krisis politik di Myanmar.

Solusi krisis Thailand agaknya bukan hanya terletak pada pundak rakyat, raja dan pemerintah Thailand, namun juga bisa didorong dari inisiatif dan langkah proaktif sahabat-sahabat dekatnya di ASEAN. Sahabat dalam untung dan malang.(*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2008