Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai, pelabuhan di Indonesia yang tidak efisien adalah pemicu utama pembeli barang ekspor Indonesia tak mau melakukan transaksi dengan sistem Cost and Freight (CNF).

"Selama pelabuhan di Indonesia tak efisien, jangan harap ada CNF. Pembeli barang tak mau tanggung beban biaya tinggi di pelabuhan," kata Ketua Umum Apindo, Sofyan Wanandi menjawab pers di sela "Diskusi Panel 33 Tahun Depalindo" di Jakarta, Rabu.

Tema yang diusung oleh Dewan Pemakai Jasa Kepalabuhanan Indonesia (Depalindo) itu adalah "Memperjuangkan Efisiensi dan Kelancaran Arus Barang".

Menurut Sofyan, timbulnya aneka pungutan di pelabuhan di Indonesia selama ini karena selama ini tidak ada otoritas yang jelas, siapa sebenarnya yang mengatur pelabuhan di Indonesia.

"Pelabuhan Indonesia itu tidak jelas koordinasinya seperti apa. Di sana ada Polisi, TNI AL, Bea Cukai dan pihak lainnya sehingga praktek yang ada, semuanya cari untung sendiri-sendiri," katanya. Akibatnya, kata Sofyan, pengusaha Indonesia ketika melakukan ekspor, umumnya dengan cara Freight on Board (FOB). "Harganya yang dihitung sampai di pelabuhan atau sisi kapal sebelum diangkut (FOB)," katanya.

Padahal, dari sisi pengusaha, jika pembeli barang (tujuan ekspor) mau membeli dengan cara CNF, devisa yang akan diraup nasional jauh lebih besar, ketimbang hanya dengan FOB.

"Selain itu, armada nasional kita untuk ekspor memang belum memadai," katanya.

Oleh karena itu, pihaknya menyambut baik penataan oleh Departemen Perhubungan (Dephub) terkait dengan masalah Biaya Pengelolaan Petikemas di Pelabuhan (Terminal Handling Charge/THC).

"Dulu THC dipatok dan ditentukan oleh perusahaan pelayaran asing dan tak jelas untuk apa. Kini sudah mulai jelas, yakni ada komponen CHC (Container Handling Charge/CHC)," katanya.

Audit 2009

Kendati begitu, Administrator Pelabuhan Tanjung Priok, Bobby Mamahit mengakui, persoalan biaya tinggi pelabuhan, bukan hanya tidak jelasnya koordinasi, tetapi juga karena perbedaan gaji atau pendapatan petugas yang terlibat.

"Ini juga salah satu pemicu utama. Gaji seorang petugas dari Adpel tertinggi per bulan hanya Rp5,5 juta, sedang seorang KCU (Kepala Cabang Utama) Bea Cukai di Priok Rp28 juta, GM Pelindo Rp18 juta. Bagaimana psikologis tak tersiksa?"` katanya.

Oleh karena itu, yang perlu diperbaiki di pelabuhan itu agar tidak terjadi pungutan, perlunya standarisasi pendapatan para petugasnya.

"Memang remunerasi sama tak jamin, tapi paling tidak, inilah pengaman pertama," katanya.

Boby juga mengakui, pemerintah akan melakukan audit biaya-biaya siluman di pelabuhan akan dimulai pada awal 2009. "Ya meski THC sudah mulai tertib, masih ada yang lain yang tidak jelas seperti Tally dan pungutan Yayasan Azwar Anas," katanya.

Tally adalah biaya pencatatan dan penghitungan keluar masuk barang dan peti kemas di pelabuhan. Khusus di Priok, tally melibatkan 19 perusahaan tally independen dan swasta sebagai pelaksana.

Tarif Tally yang dikenakan adalah Rp3.950 per ton, sedangkan pungutan Yayasan Azwar Anas adalah sejumlah rupiah dari per ton barang yang bongkar muat di Priok, tetapi pertanggungjawabannya tidak jelas.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008