Jakarta,  (ANTARA News) - Penasehat Politik Greenpeace Asia Tenggara Arief Wicaksono mengatakan, pemerintah Indonesia yang mengirimkan delegasinya dalam Konferensi PBB ke-14 tentang Iklim di Poznan, Polandia, jangan hanya mengejar dana kompensasi.

Menurut Arief dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat, delegasi Indonesia di Poznan jangan sampai hanya mengejar dana kompensasi dari negara maju yang hanya memberi keuntungan untuk industri perkayuan dan kelapa sawit tetapi tidak melakukan apapun untuk menurunkan emisi.

Selain itu, ujar dia, delegasi Indonesia juga harus melakukan tindakan yang bertanggungjawab dengan mendukung tata kelola hutan yang berkelanjutan dan rehabilitasi hutan.

Ia mengingatkan, dampak perubahan iklim ternyata melebihi perkiraan para ilmuwan sehingga pemerintah juga harus memahami kegentingan dari krisis tersebut.

Untuk itu, Arief juga menginginkan agar pemerintah menunjukkan keseriusannya dengan mengambil tindakan antara lain menerapkan moratorium segera atas seluruh konversi hutan, termasuk perluasan perkebunan kelapa sawit dan industri perkayuan yang menyebabkan penggundulan hutan.

"Sebagai anggota yang bertanggungjawab dari komunitas internasional, Indonesia perlu mengurangi emisinya yang berasal dari penggundulan hutan," katanya.

Hal itu, ujar dia, harus dikombinasikan dengan menghentikan penggunaan batubara sekaligus mendorong investasi energi terbarukan dan melakukan program efisiensi energi dalam skala besar.

Greenpeace juga mengemukakan, berbagai negara yang mengikuti perundingan di Poznan harus menyepakati bahwa emisi global akan mencapai puncak pada 2015 sehingga rencana kerja yang detail untuk menurunkan emisi secara drastis harus sudah rampung pada konferensi di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009.

Selain itu, Greenpeace mendesak agar negara maju menyetujui target pengurangan gas rumah kaca hingga di atas batas 25 persen seperti yang telah ditentukan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change/Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim) (*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008