Yogyakarta (ANTARA News) - Festival Film Dokumenter (FFD) 2008 yang digelar ketujuh mencoba menguak kehidupan orang-orang biasa yang sejatinya memiliki jalan hidup yang serba luar biasa, meski dalam skala yang kecil sekalipun. "Untuk penyelenggaraan ketujuh ini, kami mencoba mengemas program baru yang lebih fokus menampilkan orang-orang kebanyakan yang memiliki kehidupan yang luar biasa," kata Koordinator Program FFD 2008, Agus Nugroho, di Yogyakarta, Sabtu malam. Menurut Agus,penyelenggara festival mencoba untuk menggali lebih jauh kehidupan tersebut dalam berbagai program seperti "perspective", "spectrum" dan "take a look back to the sea" yang diisi film-film dari Amerika Serikat (AS), Israel, Denmark, serta negara-negara di Asia Tenggara diantaranya Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina dan juga Indonesia. Sementara itu, Koordinator FFD 2008, Abraham Mudito menyatakan bahwa keterlibatan film-film internasional disamping film-film dokumenter nasional dapat dijadikan referensi dokumentasi di Indonesia. Penyelenggara juga membuat kompetisi yang diikuti khusus oleh sineas-sineas muda Indonesia termasuk oleh pelajar melalui tiga kategori yaitu dokumenter panjang, dokumenter pendek dan khusus pelajar. Seno Gumira Ajidarma, seorang sastrawan yang telah menelurkan banyak novel juga didapuk menjadi salah satu juri untuk kategori dokumenter panjang. Film yang masuk menjadi finalis dokumenter panjang diantaranya berjudul Turonggo Sakti yang menceritakan bagaimana kesenian jaranan mencoba bertahan di antara kesenian Reog yang telah menjadi ikon Ponorogo, serta film berjudul "The Conductor" yang mengisahkan tiga konduktor dengan tiga anggota yang berbeda yaitu Suporter Arema Malang, Paduan Suara Mahasiswa UI dan Twilite Orchestra. Pada pembukaan, penyelenggara memutar film dokumenter bertajuk "Operation Homecoming: Writing the Wartime Experience" yang memperlihatkan bahwa tentara-tentara AS yang dikirim berperang ke Irak dan Afganistan adalah manusia biasa yang kebetulan menjalani kehidupan di luar kebiasaan karena harus terus mencoba bertahan hidup dibawah tembakan martir yang membabi-buta. Dalam film tersebut, tentara-tentara yang semula hanya mengenal bagaimana mengokang senjata seolah-olah berubah 180 derajat menjadi sastrawan dengan menuliskan kata-kata puitis tentang pengalaman mereka selama berperang. Festival film dokumenter itu sendiri akan digelar selama satu pekan, yaitu pada 6-13 Desember di empat lokasi; Societet Militaire Taman Budaya Yogyakarta, Benteng Vredeburg, Lembaga Indonesia Prancis dan Rumah Budaya Tembi.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008