Penerapan NTM di sektor pangan berdampak besar bagi ketahanan pangan karena mempengaruhi kualitas, kuantitas dan harga makanan yang dikonsumsi
Jakarta (ANTARA) - Politisi Inggris Raya, Jacob Rees-Mogg menyatakan bahwa perdagangan bebas menempatkan konsumen sebagai pusat dari aktivitas perekonomian tersebut.

Hal tersebut, menurut politisi Partai Konservatif itu, karena perdagangan bebas dapat menurunkan biaya impor dan memberikan kesempatan warga untuk membeli lebih dengan jumlah uang yang sama.

Memang, tidak berarti pula perdagangan perlu untuk diliberalisasi seluas-luasnya, karena hal itu juga bakal berdampak kepada menurunnya daya saing produk suatu negara.

Seperti banyak hal lainnya, solusi yang tepat adalah menempatkan segala sesuatu, termasuk regulasi terkait perdagangan, dalam batasan yang pas atau tidak berlebihan.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengingatkan bahwa hambatan berlebihan terhadap proses dan mekanisme impor dapat berakibat terhambatnya investasi dari perusahaan terutama mereka yang masih membutuhkan bahan baku dari luar negeri.

"Kalau pemerintah memberikan pembatasan terhadap impor yang berlebihan, tidak hanya akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh negara eksportir, tetapi dapat menghambat pertumbuhan investasi di dalam negeri," kata Galuh Octania.

Menurut Galuh, pada saat ini masih banyak produk Indonesia yang membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor.

Namun, lanjutnya, bila terdapat regulasi restriksi impor yang berlebihan, maka depannya juga berpotensi membuat produk Indonesia yang diekspor akan mengalami penurunan nilai.

Ia menegaskan bahwa sampai saat ini, Indonesia masih menerapkan berbagai bentuk hambatan non tarif. Padahal Indonesia harus menunjukkan komitmen dan keseriusannya dalam mentaati perjanjian dagang internasional, salah satunya melalui penghapusan hambatan non tarif dan juga menghilangkan restriksi (pembatasan) pada perdagangan internasional.

Indonesia, lanjutnya, sudah menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) WTO pada 1994 lalu yang menyebutkan kalau hambatan nontarif tidak boleh menjadi pembatasan dalam perdagangan.

Ia berpendapat bahwa walaupun pemerintah sudah meratifikasi GATT WTO tersebut lewat Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 1994, peraturan turunannya justru menjadi hambatan non tarif sehingga bertolak belakang dengan keinginan guna memangkas peraturan yang menghambat investasi dan ingin meningkatkan ekspor Indonesia.


Rugikan konsumen
Selain itu, ujar dia, kebijakan hambatan nontarif dalam perdagangan komoditas sektor pangan dinilai ke depannya akan dapat merugikan konsumen karena dapat berdampak kepada kenaikan harga pangan.

Galuh mengingatkan bahwa konsumen, terutama mereka yang tergolong miskin, akan sangat dirugikan karena mereka berarti berpotensi harus membayar lebih mahal untuk berbagai jenis pangan.

Menurut dia, salah satu komoditas pangan yang terkena dampak penerapan hambatan nontarif adalah beras, yang merupakan bahan pangan pokok di Nusantara.

Hambatan itu, ujar dia, pada akhirnya berkontribusi pada kenaikan harga beras secara signifikan, yang juga memengaruhi asupan kalori orang karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan gizi makanan bagi keluarga mereka, terutama orang miskin.

"Padahal kalau harga beras lebih murah, mereka bisa membeli komoditas pangan lain untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga atau bisa menyisihkan pendapatannya untuk biaya pendidikan atau kesehatan," kata Galuh Octania.

Saat ini, lanjut Galuh, produktivitas beras dalam negeri tidak cukup tinggi untuk menjaga kestabilan harga beras, serta produktivitas beras musiman telah berfluktuasi sejak 2013, mencapai rata-rata hanya 5,19 ton per hektare per tahun.

Sementara pemerintah, masih menurut dia, mengklaim bahwa hasil produksi beras dalam negeri telah meningkat setiap tahun dan mengalami surplus, mereka terus secara konsisten mengimpor beras dari luar negeri. Tentu saja hal ini bertentangan dengan klaim bahwa produksi dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Sedangkan Peneliti CIPS lainnya, Felippa Ann Amanta mengingatkan tentang panjangnya proses birokrasi perdagangan komoditas beras seperti dalam aktivitas impor yang berdampak pada potensi meningkatnya harga beras nasional.

Menurut Felippa, panjangnya proses birokrasi ini seringkali menghalangi Bulog untuk mengimpor pada saat harga internasional sedang rendah, karena yang terjadi seringkali adalah Bulog harus mengimpor saat harga beras internasional tinggi dan masa itu bersamaan dengan masa panen petani domestik.

Pada akhirnya, ujar dia, petani juga yang dirugikan, serta penerapan berbagai kebijakan hambatan nontarif (non tariff measure/NTM) ini seringkali dijustifikasi oleh argumen swasembada pangan di mana Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, memastikan beras domestik mendominasi pasar dan melindungi petani beras domestik.

"Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan banyak kebijakan NTM, salah satunya pada perdagangan pangan. Penerapan NTM di sektor pangan berdampak besar bagi ketahanan pangan karena mempengaruhi kualitas, kuantitas dan harga makanan yang dikonsumsi. Hal ini pada akhirnya berkontribusi pada munculnya angka malnutrisi," jelasnya.

Felippa menuturkan bahwa mayoritas beras yang dikonsumsi rakyat Indonesia berasal dari produksi domestik, namun Indonesia juga termasuk ke dalam negara-negara importir beras.


Badan Pangan Nasional
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR Slamet menilai pembentukan Badan Pangan Nasional, yang merupakan amanat UU Pangan, menjadi solusi menuntaskan carut-marut permasalahan sektor pangan.

Slamet menyebutkan salah satu penyebab carut-marutnya penanganan pangan di Indonesia karena belum terbentuknya Badan Pangan Nasional.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu juga mengingatkan pembentukan Badan Pangan Nasional merupakan amanat UU Pangan, sehingga pemerintah berkewajiban merealisasikannya.

Ia juga menegaskan bahwa pihaknya tidak berkepentingan terkait siapa sosok yang akan menduduki jabatan di Badan Pangan Nasional tersebut.

Sedangkan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Denty Eka Widi Pratiwi meminta pemerintah daerah untuk memprioritaskan ketahanan dan ketersediaan pangan.

Hal tersebut, kata Denty, karena ketahanan pangan adalah hal amat penting yang harus terus didorong keberlangsungannya, dan tetap harus mempertahankan bertani sebagai ciri profesi masyarakat nasional.

Denty menuturkan pemda perlu bersikap tegas menjaga tidak terjadinya disfungsi lahan pertanian yang membuat banyak areal persawahan berkurang dan nonproduktif.

Untuk itu, ujar dia, ditekankan pentingnya ketahanan serta ketersediaan pangan guna didukung optimal oleh terpenuhinya alat teknologi pertanian ke masyarakat pertanian.


Diversifikasi
Pengamat kebijakan pangan, Tejo Wahyu Jatmiko, menyoroti pentingnya diversifikasi pangan untuk mengatasi kenaikan jumlah penduduk dan mengurangi impor sebagai usaha mencapai kedaulatan pangan.

Tejo merujuk pada Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan demi mewujudkan swasembada beras dengan meminimalkan konsumsi berat agar tidak melebihi produksinya.

Hal yang sama tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Dalam rancangan awal RPJMN itu, pemerintah mengakui adanya isu peningkatan kebutuhan pangan seiring dengan naiknya populasi penduduk sebesar 1,2 persen. Sementara di sisi lain ada permasalahan di produktivitas yang redah dan fluktuasi harga yang menyebabkan daya tawar petani masih rendah.

Tata kelola dan manajemen, kata Tejo, perlu perbaikan karena Indonesia punya banyak pangan lokal dan tidak harus sumber karbohidrat diseragamkan untuk hanya mengonsumsi nasi. Akibatnya jika pemerintah tidak serius melakukan diversifikasi pangan bisa berdampak ketika terjadi kenaikan populasi penduduk tapi produksi beras tidak bisa ditingkatkan lagi.

Indonesia juga diwartakan siap menginisiasi kolaborasi antarnegara dan antarpebisnis di kawasan Asia untuk membangun kemandirian pertanian dan ketahanan pangan Asia melalui Asian Agriculture and Food Forum (ASAFF) 2020 yang akan digelar di Jakarta, Maret mendatang.

“Peran dan posisi Asia dalam produksi pertanian global sangat besar. Kolaborasi akan membangun ketahanan pangan negara-negara Asia dan menjamin ketersediaan pangan dunia,” ujar Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani (HKTI) Moeldoko, yang menginisiasi ASAFF.

ASAFF kedua akan diselenggarakan pada 12-14 Maret 2020 di JCC, Jakarta. Melalui ASAFF, lanjutnya, sinergi dan kolaborasi tersebut diharapkan dapat diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan pangan di Asia dan menjadi penyuplai utama pangan dunia.

Dengan mimpi Indonesia sebagai pemasok pangan global, maka esensial pula bagi pemerintah untuk mengatasi hambatan perdagangan yang dinilai selaras untuk menegakkan ketahanan pangan Nusantara.



Baca juga: Peneliti ingatkan panjangnya proses birokrasi perdagangan pangan beras
Baca juga: Peneliti ingatkan hambatan nontarif sektor pangan rugikan konsumen
Baca juga: Mantan Dirut Bulog serukan hapus stigma pangan murah, kasihan petani
Baca juga: DPR: Bulog perlu ditambah kewenangannya, perkuat ketahanan pangan

 

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020