Semarang (ANTARA News) - Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Teguh Yuwono mengatakan bahwa berpolitik praktis adalah hak setiap warga negara. "Berpolitik adalah hak setiap warga negara, baik kyai, ulama, pengusaha, atau profesi lainnya apa pun itu tidak masalah," kata Teguh di Semarang, Minggu. Pernyataan Teguh tersebut menanggapi pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar yang menyatakan bahwa banyaknya kyai dan ulama yang berpolitik praktis membuat umat terabaikan dan terpecah-pecah. Teguh mengatakan, tidak ada satu pun regulasi yang membatasi warga negara untuk aktif dalam kehidupan politik. Menurut Teguh, pernyataan Kepala BIN tersebut hanya himbauan moral agar ulama dan kyai tidak hanya berpolitik tetapi juga harus bisa menjalankan tugasnya sebagai panutan, pembina umat, dan guru. "Sebetulnya bukan persoalan boleh atau tidak boleh berpolitik praktis, tetapi lebih pada persoalan ulama yang harus bisa menjalankan tugasnya saat menjadi guru dan menjadi politisi," katanya. Ia menjelaskan, jika ada batasan untuk ulama dan kyai berpolitik praktis dikhawatirkan politik praktis hanya menjadi ladang bagi orang-orang dengan profesi tertentu. "Saya kira banyak kyai dan ulama yang aktif dalam politik praktis tetapi tetap bisa menjalankan tugasnya," kata Teguh tanpa menyebutkan nama-nama yang dimaksud. Teguh menambahkan, meskipun kyai dan ulama memiliki hak berpolitik praktis mereka tidak boleh terbawa arus. Mereka harus bisa memberikan pencerahan bagi yang lain dalam pengambilan keputusan. Dalam kesempatan terpisah, pengamat politik Undip Semarang Fitriyah berpendapat sama dengan Kepala BIN bahwa kyai dan ulama yang telah mewakili kepentingan kelompok tertentu akan sulit untuk menonjolkan kenegarawanannya. Menurutnya, dengan masuk politik praktis maka mereka mewakili kepentingan politik tertentu dan masyarakat yang sudah menentukan pilihannya tentu tidak bisa menjadikannya sebagai panutan karena politiknya berseberangan. Fitriyah menjelaskan, pascareformasi banyak kyai dan ulama yang sudah berpolitik praktis dan fenomena tersebut terjadi hingga di tingkat bawah. Padahal masyarakat bawah atau pedesaan justru membutuhkan panutan atau tokoh informal yakni kyai dan ulama. "Akibat mereka berpolitik praktis, masyarakat pun kehilangan figur," katanya. Dia menambahkan, untuk berjuang demi bangsa dan negara kyai dan ulama tidak perlu berpolitik praktis seperti Gus Mus. Namun ia menyayangkan tokoh seperti Gus Mus sangat langka.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008