Banda Aceh (ANTARA News) - Balai Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjamin harimau yang sudah dilepasliarkan kembali ke hutan di Aceh tidak akan turun ke pemukiman dan mengganggu warga. "Lokasi pelepasliaran harimau sangat jauh dengan pemukiman terdekat warga jadi mudah-mudahan tidak akan masuk ke pemukiman lagi," kata Mike Griffiths dari Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Lauser (BPKEL) di Aceh Besar, Minggu. BKSDA bekerjasama dengan BPKEL dan sejumlah lembaga lingkungan lainnya kembali melepasliarkan seekor harimau betina yang sudah sekitar sebulan dirawat di BKSDA di kawasan hutan desa Blang Raweu Kecamatan Mane Kabupaten Pidie. Jaminan tidak kembalinya si raja hutan itu, menurut Mike juga karena hewan liar tersebut dipasang alat berupa GPS untuk memantau keberadaannya sehingga saat harimau berada di dekat pemukiman bisa langsung diketahui dan diantisipasi. Lokasi pelepasliaran yang dipilih masih berada di kawasan hutan Ulu Masen berjarak sekitar 20 kilometer dari desa terdekat yag diperkirakan telah melewati dua kali lipat daerah teritorinya. Sementara di hutan lampung sendiri jarak pelepasliaran harimau hanya sekitar empat kilometer dari pemukiman warga. Sementara itu Kepala BKSDA, Andi Basrul mengatakan pelepasliaran harimau yang berasal dari kawasan hutan Jantho Kabupaten Aceh Besar itu atas sepengetahuan Gubernur Irwandi Yusuf dan mendapat dukungan tertulis dari Bupati Pidie dan Pidie Jaya. "Pelepasan harimau betina yang kita lakukan pada Minggu (21/12) pagi tadi merupakan hasil musyawarah bersama pemerintah, BPKEL dan sejumlah organisasi lainnya termasuk adanya kesepakatan warga setempat," kata Andi. Saat pelepasliaran tersebut, harimau yang dirawat di BKSDA sejak 4 Desember 2008 kondisi fisiknya cukup baik sehingga diputuskan untuk dilepas. Pelepasliaran si raja hutan itu menghabiskan dana ribuan dolar Amerika Serikat dari berbagai LSM seperti Flora dan Fauna Indonesia (FFI), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), perhimpunan dokter hewan satwa liar Sumatera (Vesswic) dan Yayasan Ekosistem.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008