Jakarta,  (ANTARA News) - Seorang anak baru gede (ABG) bertanya kepada pengasong kebijakan atau penjaja keluhuran yang kini berkeliaran di polis Jakarta, "Apakah seseorang boleh memuntahi sohibnya?" Tanpa banyak mengobral kata-kata ala maestro pencerahan, tersembul jawaban, "Itu namanya Resolusi, Nak. Bersegeralah belajarlah dari sastrawan Milan Kundera." Pertanyaan pas, jawaban puas. Menurut Kundera, satu-satunya alasan menjadi tuan bagi masa depan adalah dengan mengubah masa lalu...meninggalkan masa lalu seperti seorang aktor tanpa peran. Siapa aktor yang menggenggam 2009 untuk mengubur peran usang pada 2008? Sang guru melanjutkan, "Jangan sesekali bertanya kepada bola nasib cenayang. Mereka bukan murid terbaik filsuf Plato." Bukankah Plato telah memperkenalkan makna mengingat (anamneses)? Anamneses adalah cara untuk mengetahui apa yang hakiki dari dunia ini guna memperoleh pengetahuan sejati (episteme). Sedangkan, filsuf Agustinus merevolusi pernyataan anamnese dalam memoria. Memoria dapat dibayangkan sebagai semacam cahaya batin yang dimiliki oleh manusia untuk menangkap apa yang tersembunyi dalam diri setiap orang. Memoria mendorong manusia agar mengaktualkan segala apa atau selaksa gambaran yang pernah direngkuh dan ditempuh dalam hidup. Setelah mendengar jawaban Kundera, Plato dan Agustinus, serta merta generasi teen-lit bersorak: Ini Baru Resolusi 2009. Boleh juga sesekali memuntahi teman, meski dia tetap sahabat. Bukankah kredo kelana cinta generasi post-modern yakni hanya berteman dan hanya persinggahan. Silakan simak ujaran menggoda, bukan sebatas sebaris kata-kata pesan singkat (SMS) bahwa dia ingin melupakan sahabatnya. Tidak usah saling mengingat dan tidak perlu saling menyapa. Tidak ada anamneses, tidak ada memoria. Yang ada dan yang tersisa yakni silakan muntahi teman. Segala kenangan bukan sesuatu yang nyata. Kalau sosok generasi teen-lit punya seabrek kosakata seputar resolusi diri, maka pemerdekaan mereka termanifestasi dalam ujaran "jangan main-main dengan auratmu". Bukankah sang guru bahasa berkata bahwa nalar kritis tumpah ruah dalam nalar bahasa. Jangan sesekali menumpuk peristiwa tanpa merefleksikannya. Kelak publik pembaca mengalami sindroma rugi bandar. Selain memuntahi teman, resolusi 2009 mendaulat orang untuk tidak hanya mengiyakan atau menganggukkan kepala saja bahkan menelan bulat-bulat banjir informasi. Silakan kritis, kritis, dan kritis. Ini resolusi "ngetop" 2009. Resolusi 2009 bukan sebatas bualan surgawi, atau mimpi adi-duniawi. Resolusi 2009 menimba makna tentang kepahlawanan seperti dikisahkan dalam perang Troya. Maksudnya, yang menjadikan orang ini atau orang itu pahlawan, bukan pertama-tama karena keberanian mencecap penderitaan akibat pertempuran, tetapi keinginan untuk menunjukkan diri kepada publik bahwa di seberang sana ada saga menggoda bagi denyut almanak estetika kehidupan. Resolusi 2009 tampak seksi ketika pemerintah segera menurunkan harga premium bersubsidi menjadi Rp3.500 per liter menyusul cenderung turunnya harga minyak mentah dunia, yang kini berada di bawah US$40 per barel. Hingga 26 Desember, rata-rata harga minyak mentah Indonesia sekitar US$39,22 per barel. Harga ini turun dari posisi rata-rata harga hingga 12 Desember yang tercatat US$39,51 per barel. Lantas apa artinya bagi memoria publik? Jika ingin menyaksikan bahwa resolusi 2009 meneror pengetahuan sejati publik, maka datanglah ke Yogyakarta dan Bandung. Ini promosi agar anamneses publik terawat dan terobati oleh luka-luka akibat deraan peristiwa menohok pada 2008. Berwisatalah agar beroleh pijar surgawi dalam estetika kehidupan. Bukankah ada ungkapan, biar krisis atau tidak, yang penting senang (happy). Jelang 2009, silakan kunjungi Jalan Malioboro. Rencananya jalan itu ditutup mulai pukul 22.00 WIB, Rabu malam, termasuk menutup akses jalan menuju Malioboro seperti Jalan Mangkubumi hingga Alun-alun Utara. "Sama seperti tahun lalu, penutupan jalan tersebut dilakukan karena konsentrasi warga masyarakat yang akan merayakan pergantian tahun biasanya memadati sepanjang Jalan Mangkubumi, Malioboro dan Alun-alun Utara serta jalan-jalan di sekitarnya," kata Kepala Bidang Lalu Lintas, Angkutan dan Pengendalian Operasi Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Yogyakarta Purnomo Rahardjo. Jelang 2009, silakan sambangi Pagelaran Braga Festival 2008 Bandung, yang digelar di sepanjang Jalan Braga dari tanggal 30-31 Desember 2008. Meski bayarannya, lalu lintas macet di sekitar kawasan Jalan Braga. Hingga Selasa siang, kemacetan terjadi dari arah jalan Lembong menuju jalan Asia Afrika, Asia Afrika menuju ke jalan Banceuy serta jalan Terusan ABC menuju ke jalan Naripan atau Braga. Jelang 2009, bagi publik Jakarta, berkumpul bersama sanak saudara, teman dan pasangan hingga relasi bisnis terasa lebih mengusik memoria. Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia DKI Khrisnadi mengatakan Jakarta siap merayakan malam pergantian tahun kendati saat ini krisis ekonomi belum berakhir. "Mereka bisa `spend` malam tahun baru di dalam negeri dengan menginap satu dua malam di hotel. Spend tidak mesti hanya di Jakarta, tapi bisa juga di kota lainnya seperti Bali dan Bandung," katanya seperti dikutip dari harian Bisnis Indonesia. Mengapa wisata yang diangkat ke permukan saat mengarungi bahtera 2009? Bukankah wisata bukan memuntahi teman, tetapi justru melumuri publik dengan kegembiraan dan keriangan? Jawabnya, 2009 adalah tahun paradoks kehidupan. Di mana ada ketawa sekonyong-konyong berubah menjadi tangisan. Di mana nyanyian hilang dan menjadi teriakan-teriakan, di mana senyum merosot menjadi gigi yang siap merusak dan siap menerkam. Di mana api pelita menjadi samudera lautan api yang memusnahkan dan menghancurkan. Ringkasnya, resolusi 2009: silakan memuntahi teman. Yang tadinya nampak sebagai Semar dengan anak-anaknya yang jenaka, maka sekonyong-konyong nampak sebagai Durga yang siap membunuh siapa saja, sebagai Wisnu yang siap menghancurkan. Agustinus berkata, Cintailah dan lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki (Dilige et quod vis fac). Silakan muntah, muntah dan sekali lagi muntahlah sepuasnya di wajah temanmu.(*) 

Oleh Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008