Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 10 partai politik (parpol) pada Rabu (14/1) secara resmi akan memasukkan berkas permohonan uji materi UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan ketentuan ambang batas perolehan suara 2,5 persen bagi parpol untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. "Telah terjadi kesewenang-wenangan oleh pembentuk undang-undang. Pembentuk undang-undang tidak mendasarkan perumusan ketentuan pasal pada prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi, melainkan hanya berdasar argumen kekuasaan semata," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Patra M Zen, yang akan mendampingi 10 parpol tersebut ke MK, di Jakarta, Selasa. Ke-10 parpol yang menjadi pemohon adalah Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK), Partai Perjuangan Indonesia Baru, Partai Karya Perjuangan, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Kasih Demokrasi Indonesia. Hadir pada acara tersebut antara lain Ketua Umum PPD, Oesman Sapta dan Ketua Umum PNBK Eros Djarot, serta beberapa pengurus partai lainnya. Dengan aturan yang dikenal dengan "parliamentary threshold" (PT) tersebut, parpol peserta pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan kursi di DPR RI sekurang-kurangnya 2,5 persen dari total kursi di DPR, harus merelakan kursinya untuk diberikan kepada partai lain atau dengan kata lain tidak berhak lagi menempatkan satu pun wakilnya di DPR. Sementara itu Oesman Sapta mengatakan, bahwa PT sangat tidak adil, tidak menghargai hak berdemokrasi dan merugikan pemilih. "Suara dukungan (rakyat) dari daerah tidak sampai ke Senayan (DPR) walaupun sudah mendapatkan suara yang cukup (untuk menjadi anggota DPR)," kata Oesman. Oesman mengatakan, aturan PT adalah pengingkaran terhadap hak politik rakyat dan melanggar hak asasi manusia. Ia mengatakan, hak asasi rakyat tidak boleh dikebiri. Oesman mengharapkan MK memberikan keputusan yang adil. "Hapus PT," katanya. Sementara itu Eros Djarot hanya mengingatkan, dengan adanya aturan suara terbanyak dalam pemilihan anggota legislatif, maka tidak mungkin orang yang dipilih langsung bisa gugur karena aturan PT tersebut. YLBHI menyatakan, aturan tersebut bisa membuat suara rakyat hangus. Hal itu sama dengan hilangnya aspirasi pemilih. "Hilangnya suara yang sangat banyak yang semestinya bisa dicegah, tentu bertentangan dengan jaminan hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dengan konstitusi," sebut YLBHI. Menurut YLBHI, Ketentuan itu antara lain bertentangan dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yaitu "Negara Indonesia adalah negara hukum", dan pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yaitu "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum", dan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan...". Menurut YLBHI, ketentuan yang tercantum dalam pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 tahun 2008 tersebut, telah melawan tiga dasar hukum yakni kesamaan, kebebasan dan solidaritas, seta tidak sejalan dengan semangat reformasi yang berlandaskan demokrasi dan keadilan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009