Ledha (ANTARA News) - Beberapa ribu warga Rohingya tanpa negara yang tinggal di Bangladesh secara tidak sah atau di kamp pendatang menyatakan, mereka lebih suka mati ketimbang dipulangkan ke Myanmar, tempat kematian menunggu mereka.          "Kemana kami mesti pergi?" demikian pertanyaan Haji Abdul Motaleb, pemimpin orang perahu Muslim Rohingya yang menetap di satu kamp tak resmi di Ledha, di tepi sungai Naf di sepanjang 320 kilometer perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar.          "Di sana (di Myanmar) junta militer sedang berusaha membersihkan masyarakat minoritas Muslim dengan memaksa  mereka meninggalkan rumah dan menjalani kerja paksa tanpa bayaran. Perkosaan, pembunuhan, dan penyiksaan  lain  terjadi di mana-mana," kata Motaleb kepada wartawan kantor berita Inggris, Reuters.          Ia mengatakan, banyak di antara mereka yang pulang, meskipun khawatir terhadap hukuman, tak menemukan bekas rumah mereka.          Kebanyakan orang Rohingya, kelompok minoritas Muslim dari Myanmar --yang kebanyakan warganya penganut Buddha, seringkali meninggalkan Rakhaine di bagian barat laut Myanmar menuju Bangladesh, pertama untuk menghindari hukuman dan kemudian menemukan negara lain tempat mereka dapat menata hidup baru, kata Reuters.          Para pejabat perbatasan mengatakan, banyak di antara mereka mengambil resiko kehilangan jiwa dalam melakukan tindakan itu dan seringkali hilang.          Nasib buruk mereka baru-baru ini menarik perhatian dunia ketika ratusan orang Rohingya dicegat di laut di dalam perahu butut. Banyak di antara mereka berusaha mencapai negara seperti Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Singapura untuk mencari pekerjaan setelah terperosok ke dalam jaringan penyelundupan manusia.          Lebih dari 550 orang dikhawatirkan  tewas tenggelam dalam dua bulan belakangan, setelah perahu mereka diseret kembali ke laut oleh militer Thailand.          Militer Thailand mengakui melepas mereka ke laut, tetapi mengatakan mereka diberi makanan dan air dan membantah pernyataan dari penyintas bahwa mesin perahu mereka disabotase.          Sebanyak 78 Rohingya berada dalam tahanan polisi Thailand, sementara satu perahu lagi yang berisi 193 orang Rohingya terdampar di pantai Aceh, Indonesia.          Motaleb mengatakan, tekanan internasional diperlukan guna membuat para penguasa Myanmar menghentikan hukuman terhadap orang Rohingya, yang tak diakui oleh junta militer, yang berkuasa, sebagai salah satu dari 130 masyarakat minoritas di negeri tersebut.          Bangladesh menyatakan, terdapat sebanyak 200.000 orang Rohingya yang tinggal secara tidak sah di negeri itu dan menganggap kebanyakan dari mereka sebagai pengungsi ekonomi, selain 21.000 orang yang ditampung di dua kamp pengungsi PBB di daerah pantai Cox's Bazar.          Beberapa pejabat Eropa di dua kamp lain yang menampung sebanyak 11.000 orang Rohingya di Ledha mengatakan, banyak di antara mereka yang berada di luar kamp utama tersebut telah meninggal akibat kemiskinan di dekat kota kecil perbatasan Teknaf.          Bangladesh menolak memberi orang Rohingya tempat tinggal permanen, namun tetap tak mampu menghentikan arus orang yang memiliki bahasa dan agama yang sama dengan masyarakat lokal Bangladesh.          Motaleb mengatakan, tak ada kabar mengenai lebih dari 100 orang yang meninggalkan kamp Ledha pada Desember 2007 dengan naik perahu pulang ke Myanmar.          "Barangkali mereka  dijebloskan ke dalam penjara atau menemui ajal," katanya.          Mohammad Hasan, orang Rohingya yang berusia 25 tahun, mengatakan, saudara laki-laki dan sepupunya termasuk di antara 250 orang yang meninggalkan pantai Bangladesh menuju Malaysia pada Desember.          "Kami tak mengetahui apa pun mereka  sejak itu," kata Hasan.          Seorang pejabat dari penjaga perbatasan Bangladesh Rifles mengatakan, banyak orang Rohingya pergi ketimbang kelaparan hingga tewas.          "Mengapa kami mesti mencegah mereka mencari hidup yang lebih baik di luar negeri," kata pejabat itu --yang tak ingin disebutkan jati dirinya.                         Prihatin Sementara itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam (OKI) Prof Ekmeleddin Ihsanoglu menyampaikan keprihatinan sehubungan dengan laporan yang mengkonfirmasi  ratusan pengungsi Muslim Rohingya dikhawatirkan hilang dan tewas tenggelam pada panghujung Desember 2008 di wilayah perairan Thailand..          Dalam siaran pers yang disiarkan Organisasi Kantor Berita Islam Internasional (IINA) Ihsanoglu, dia menyatakan, melindungi jiwa pengungsi dan menjaga mereka dari penyiksaan merupakan tanggung jawab sah yang dipikul Thailand, yang wilayah perairannya dilayari oleh pengungsi Rohingya.        Thailand, katanya, perlu memberi perawatan dan perlindungan bagi para pengungsi itu, sejalan dengan ketentuan Konvensi PBB 1951 dan Protokol yang Berkaitan dengana Status Pengungsi. Ia menyampaikan keprihatinan mengenai nasib para penyintas Rohingya, dan menyeru negara yang didatangani para pengungsi tersebut agar memberi bantuan kemanusiaan yang mereka perlukan.          Sekretaris Jenderal itu juga memohon Komisaris Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) melakukan penyelidikan independen dan memberi semua bantuan kepada pengungsi Muslim Rohingya.          Ia menekankan perlunya  pemerintah Thailand  melakukan, sebagaimana dijanjikan Perdana Menteri Thailand, penyelidikan mendesak mengenai kondisi yang mengakibatkan peristiwa tragis itu dan menyeret mereka yang bertangung-jawab ke pengadilan.          Ia menyatakan, ia akan mengikuti perkembangan masalah dengan pemerintah Thailand itu.          Sementara itu ada dugaan baru mengenai penyiksaan yang dilakuakn militer Thailand terhadap orang perahu Rohingya yang menyelamatkan diri dari Myanmar.          Sebanyak hampir 200 orang Rohingya, yang saat ini berada di provinsi Aceh, Indonesia, memberitahu Al Jazeera bagaimana mereka dipukuli setelah perahu mereka dinaiki oleh personil militer Thailand pada Desember.          Ketika berbicara dari satu rumah sakit di Aceh, seorang dari kelompok tersebut --Noor Mohamad, seorang imam dari Myanmar barat-- mengatakan kepada Al Jazeera, perjalanannya dimulai pada Desember tahun lalu, ketika lima perahu yang membawa 585 orang Rohingya bertolak dari Myanmar untuk mencari hidup yang lebih baik.          Pengungsi itu segera ditangkap dan dipukuli Angkatan Laut Myanmar, katanya, tapi mereka dibiarkan pergi dan bahkan diberi bahan bakar dan kompas, dan memerintahkan mereka agar tidak pernah pulang.          Dua-belas hari kemudian, Nooh Mohamad mengatakan, kelompoknya tiba di Thailand. Tetapi bukannya mendapat tempat berlindung ketika mereka berhadapan dengan militer Thailand, mereka malah dipukuli sebelum dikembalikan ke perahu mereka dan dilepas ke laut.          Mereka ditemukan  beberapa nelayan tiga pekan kemudian di lepas pantai Indonesia. Kasus itu  yang paling akhir dari serangkaian dugaan penyiksaan yang dilakukan pemerintah Thailand terhadap orang-perahu Rohingya yang  muncul ke permukaan dalam beberapa pekan belakangan.          Beberapa kasus lain, militer Thailand dituduh memaksa beberapa perahu yang dipenuhi orang Rohingya  kembali ke laut tanpa makanan dan bahan bakar; atau ditinggalkan di perairan jauh dari pantai sementara mesin perahu mereka dirusak atau dicabut.          Menurut laporan dari para penyintas yang terdampar di kepulauan Andaman di India dan wilayah lain di bagian barat-laut Indonesia, ratusan orang Rohingya diduga  tewas.          Beberapa kelompok hak asasi manusia menuduh militer Thailand melakukan aksi sistematis secara diam-diam terhadap Rohingya, karena mencurigai mereka  terlibat dengan petempur separatis Muslim di Thailand selatan.          Militer dan pemerintah Thailand membantah tuduhan tersebut, dan mereka juga membantah bahwa orang Rohingyan menghadapi hukuman di negara asal mereka.          "Mengenai tuduhan serius, termasuk bermacam bentuk perlakuan buruk, ini harus dengan tegas dibantah karena tak ada dalam kebijakan dan prosedur," kata Kementerian Luar Negeri Thailand baru-baru ini. (*)   

Oleh
Copyright © ANTARA 2009