Jakarta (ANTARA News) - Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengkhawatirkan adanya upaya-upaya politisasi yang bermuara pada perpecahan keraton apabila masalah suksesi internal di keraton juga turut diatur dalam RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta.

"Jika suksesi di keraton akan diintervensi dalam RUU ini, ada kekhawatiran proses tersebut menjadi sumber konflik dan perpecahan di keraton," ujarnya saat Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR Jakarta, Kamis.

Menurut Sultan, dimasukkannya perihal suksesi keraton kedalam RUU itu menyimpan dilema tersendiri dan ada untung serta ruginya yang semuanya harus dipertimbangkan secara matang.

Namun demikian, menurut Sultan, kalaupun masalah suksesi keraton itu tetap dituangkan dalam RUU itu, maka harus ada kepastian-kepastian tersendiri yang menjamin lancarnya pergantian kekuasaan secara damai.

"Misalkan suksesi dilakukan dengan musyawarah keluarga. Tapi keluarga itu siapa juga harus diperjelas," ujarnya.

Sesaat sebelumnya, angota Komisi II dari FPDIP Alex Litaay mengatakan bahwa RUU tentang Keistimewaan Yogyakarta itu harus memberikan penegasan atas makna istimewa provinsi itu, termasuk dalam hal suksesi keraton.

Sedangkan anggota FPG Ferry Mursyidan Baldan menyatakan bahwa RUU itu sifatnya hanya penyempurnaan atas praktik-praktik yang sudah berlangsung selama ini dan bukan justru mengeliminasi.

Dalam konteks kepemimpinan, menurut Ferry, juga harus ada kesesuaian antara berbagai aturan yang ada di Kesultanan dan Pakualaman dengan semangat berdemokrasi yang akan dituangkan dalam RUU itu serta antisipasi berbagai kemungkinan dimasa mendatang.

Sementara itu Wagub Yogyakarta Sri Paku Alam IX menegaskan bahwa masalah suksesi di keraton Yogyakarta itu ada pranata-pranatanya tersendiri.

"Setiap sultan yang sudah `jumenengan` (bertahta), siapapun dia, pasti diakui semua masyarakat di Yogyakarta. Lalu apakah ini demokrasi atau bukan?," ujarnya.  (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009