Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Politik UI Boni Hargens menilai pernyataan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, yang membawa-bawa jargon agama dalam rapat pimpinan nasional partai tersebut belum lama ini sebagai sikap politik yang tidak dewasa dan sulit menerima kritik. "Ini pertanda bahwa SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sulit menerima kritik," kata pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens di Jakarta, Selasa, terkait pidato politik Yudhoyono yang menyatakan bahwa tukang fitnah tidak akan dapat berkah. Jargon agama ini, dinilai Boni, tentunya ditujukan pada kritik yang disampaikan lawan-lawan politiknya. Boni menuturkan, sikap cenderung anti-kritik SBY itu, bisa dilihat juga pada kasus kebijakan ekonomi, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak lalu. "Walaupun banyak ekonom di luar pemerintahan yang memiliki perhitungan matang, toh dia tetap saja mengabaikan," ujarnya. Boni mengatakan, respons negatif atas kritik ini juga akan mempertajam konflik blok M (Megawati Soekarnoputri) dengan Blok S (SBY) dan bakal menguntungkan poros alternatif. Karena itu, dia menyarankan agar SBY lebih fokus pada program kerjanya dalam sisa waktu yang semakin sedikit, seperti penanganan krisis ekonomi, pemberantasan kemiskinan, dan peningkatan pelayanan kesehatan. Dengan cara seperti itu, rakyat semakin merasakan hasil kinerja SBY. Hal senada juga dikemukakan intelektual muda Nahdlatul Ulama, Zuhairi Misrawi yang mengatakan bahwa terminologi ulama yang dikemukakan oleh SBY, sebenarnya melanggar etika sebagai pemimpin negara. Semestinya, kata dia, SBY konsisten saja menjalankan amanat seperti pengentasan kemiskinan, dengan mengacu pada UUD 45 serta Pancasila dan bukan menggunakan terminologi-terminologi agama. "Ini merupakan kelucuan dan hanya politik pencitraan saja," kata alumni Universitas Al Azhar, Kairo itu. Lebih lanjut Zuhairi mengungkapkan bahwa SBY seperti sedang berupaya mengambil alih peran-peran keagamaan yang sudah baik. Presiden, menurut Zuhairi, seharusnya jadi juru bicara UUD 45, bukan juru bicara kelompok agama tertentu karena itu bukan kapasitas seorang presiden. Dari sudut pandang politik pun sikap tersebut merupakan preseden buruk bagi demokrasi.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009