Bagi praktisi hukum termasuk aparat penegak hukum, kata "suap" pasti tidak terlalu asing, apalagi mereka yang pernah berhadapan langsung dengan dosen ilmu hukum, Prof Satochid Kartanegara yang dengan lelucon melukiskan suap ibarat permen karet, enak dikunyah tapi susah untuk ditelan.

Sindiran tersebut, secara kebahasaan sebenarnya hanyalah sebagai frasa biasa dan bukan bentuk kritik, tetapi sebaliknya sempat memancing petinggi Operasi Tertib (Opstib) pada tahun 1970-an berang dan kebakaran jenggot.

Kritik sang-dosen ini, bukan hanya didengar mahasiswa di depan kelas tetapi belakangan menjadi ungkapan keprihatinan masyarakat luas saat itu lantaran banyak oknum yang mengenyampingkan tindak kejahatan suap dibanding kejahatan korupsi, hingga akhirnya presiden Soeharto memerintahkan komandan Opstib Laksamana Soedomo untuk memberantas kedua penyakit masyarakat tersebut sampai keakar-akarnya.

Tetapi suasana penegakan hukum saat ini jauh berbeda, karena masyarakat dengan mudah menonton aparat penegak hukum "mengunyah" suap dimana-mana, di jalan raya, di kantor-kantor hingga di hotel-hotel tanpa rasa malu dan tanpa merasa melanggar hukum seperti yang diuraikan pasal pasal 209 dan 210 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP) yang mengatur soal suap-menyuap dengan ancaman sanksi penjara dua hingga tujuh tahun penjara.

Jaman seakan mengikuti trend, tanpa memperhatikan substansi tentang akar masalah yang mengganggu kehidupan masyarakat tentang gangguan itu, malah belakangan dengan adanya Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) malah tindak kejahatan korupsi yang lebih dicari dibanding suap.

Tidak salah jika penemuan kasus korupsi jauh lebih "bombastis" dan penemunya mendadak "beken", lantaran media massa turut membesar popularitasnya, sementara peristiwa pidana yang terjadi rutin dan terang-terangan malah kurang tersentuh lembaga penegak hukum itu.

Jika lagi iseng, coba saja duduk santai di atas gedung di jalan Merdeka Selatan Jakarta, mengamati perilaku polisi lalu lintas yang sedang menunggu "mangsa" di Bunderan Bank Indonesia. Hampir setiap empat hingga enam menit, ada saja kendaraan yang salah jalan dan kemudian "cin-cincai" dengan aparat.

Lupa dari kebijakan

Bukan tidak disengaja KUHP jauh-jauh hari mengatur tentang suap, karena selain menyentuh rasa keadilan masyarakat juga merusak citra pemerintah. Suap malah jauh lebih tua usianya dibanding korupsi yang belakangan beberapa kali diatur melalui Undang-Undang.

Pengaturan pasal tentang suap, sudah ditemukan sejak pemerintah kolonial Belanda seperti yang tertuang dalam "algemeen strafrecht" atau pidana lokal dalam bentuk "plaatselijk strafrecht" yang belakangan dikenal dengan Peraturan Daerah (Perda).

Tetapi masih saja belum terjawab, apakah "lupa" atau sengaja dikesampingkan dalam kebijakan pemerintah (political will) untuk memberantas penyakit akut ini, karena dari awal berdirinya lembaga pemberantasan korupsi sejenis Opstib hingga berkali-kali ganti baju menjadi KPK, selalu terkesan "dianaktirikan" dari sentuhan penegakan hukum.

Kurang bukti? Ini alasan klasik yang kadang-kadang rakyat terbahak-bahak mendengarnya, karena sudah banyak pemantau dan pemerhati tentang tindakan polisi, jaksa, hakim, dan pegawai negeri sipil lainnya yang bergiat dalam dunia suap, sogok dan sejenis cincai-cincai tadi.

Beberapa waktu lalu, LSM Transparency International (TI) Indonesia dengan telak menyingkap temuannya dengan menyebut, institusi kepolisian berada di urutan pertama dari indeks suap yang terjadi diantara 15 institusi publik milik pemerintah, dengan indeks suap di tubuh kepolisian mencapai 48 persen dari 100 persen yang seharusnya melayani publik dengan baik selama tahun 2008.

Angka 48 persen tersebut hendaknya dibaca adalah hampir setengah dari total interaksi jajaran kepolisian terlibat suap dan ini rekor tertinggi diantara institusi publik lainnya yang rawan terjebak perbuatan suap seperti Bea Cukai (41 persen), Imigrasi (34 persen), DLLAJR (34 persen), Pemerintah kota (33 persen), BPN (32 persen) Pelindo (30 persen), Pengadilan (30 persen), Dephumkan (21 persen), Angkasa Pura (21 persen), pajak daerah (17 persen), Depkes (15 persen), pajak nasional (14 persen), BPOM (14 persen) dan MUI (10 persen).

Menurut KUHP, seseorang yang dapat dihukum penjara adalah mereka yang berstatus pegawai negeri termasuk polisi, hakim, jaksa dan sejenisnya tetapi tidak berlaku bagi mereka yang bukan berstatus tersebut seperti MUI. Tetapi jika data TI tersebut ditindak lanjuti maka paling tidak pemerintah menambah ruang penjara baru untuk kapasitas satu sampai dua juta orang nara pidana yang khusus menampung terpidana "suap. (*)

Oleh oleh Miskudin Taufik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009