Jakarta, 18/2 (ANTARA) - Kebijakan harga Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri pada dasarnya ada dua macam yaitu harga jual eceran dan harga patokan. Selisih harga patokan dan harga jual eceran tanpa pajak adalah subsidi. Harga patokan adalah harga MOPS ditambah alpha. Harga MOPS terkait dengan harga ICP yang naik turun sesuai dengan fluktuasi harga minyak bumi internasional. Apabila harga jual eceran lebih tinggi dari pada harga patokan maka selisih ini akan menjadi "surplus" yang masuk ke dalam komponen APBN sebagai PNBP. Sebaliknya apabila harga jual eceran lebih rendah dari pada harga patokan maka pemerintah akan mensubsidi, yang masuk ke dalam perhitungan belanja subsidi di APBN. "Surplus" maupun subsidi dilaporkan secara transparan dan bertanggung jawab kepada DPR dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang diaudit oleh BPK.   

     Prinsip penetapan harga BBM selain memperhatikan harga keekonomian BBM, pemerintah juga perlu menjaga stabilitas ekonomi sepanjang tahun anggaran, terutama pada saat menghadapi krisis ekonomi dunia. Harga BBM ditetapkan pada tingkat yang dianggap sesuai dengan tujuan untuk menjaga/meningkatkan daya beli masyarakat dan mendukung kegiatan sektor riil, namun tetap perlu dijaga stabilitasnya untuk menciptakan kepastian ekonomi dan menjaga kepercayaan pelaku ekonomi.     

     Melepaskan harga BBM terutama premium dan solar sesuai dengan mekanisme pasar dan harga keekonomian berarti harga BBM dalam negeri akan mengalami fluktuasi yang sangat tajam sesuai ketidakpastian harga minyak bumi internasional selama ini.     

     Harga minyak dunia tahun 2008 berfluktuasi dari US$91/barel pada bulan Januari, melonjak tajam ke US$135/barel pada bulan Juli dan menurun tajam sehingga pada bulan Desember menjadi US$39/barel yang diikuti dengan penurunan harga BBM dalam negeri sejak 1 Desember 2008. Dalam situasi ini pemerintah tetap menjaga "stabilitas" harga BBM dalam negeri yang berakibat melonjaknya subsidi mulai bulan Februari sampai dengan bulan Oktober 2008 dan terdapat surplus pada bulan November dan Desember 2008. Hasil lonjakan subsidi maupun surplus BBM tersebut dilaporkan dalam LKPP tahun 2008 yang akan diaudit oleh BPK.     

     Sejak tahun 2009 pemerintah terus memantau harga minyak internasional dikaitkan dengan kebijakan harga BBM dalam negeri. Pemerintah telah memutuskan penurunan lebih lanjut harga BBM premium dan solar pada tanggal 15 Januari 2009. Keputusan tersebut didasarkan kepada ekspektasi harga minyak internasional dan stabilitas kurs rupiah sepanjang tahun 2009. Berdasarkan perhitungan harga rata-rata minyak dunia tahun 2009 masih berada pada kisaran US$40 - US$60/barel. Sementara itu kurs rupiah mengalami fluktuasi (depresiasi) antara Rp9.400/US$ - Rp11.800/US$. Kondisi saat ini harga minyak internasional mulai pertengahan Januari 2009 meningkat yang di mana pada awal Januari sekitar US$33/barel kemudian meningkat menjadi sekitar US$41/barel dan rata-rata Februari sampai dengan tanggal 13 mencapai US$44,3/barel. Sedangkan kurs mengalami fluktuasi antara Rp11.000/US$ - Rp12.000/US$. Dengan pertimbangan tersebut apabila harga BBM dalam negeri dibebaskan mengikuti mekanisme pasar dan harga internasional maka harga jual eceran BBM justru perlu dikoreksi ke atas. Sedangkan "surplus" penerimaan BBM pada awal Januari 2009 akan tetap dicatat sebagai pos penerimaan PNBP lainnya.     

     Mempertimbangkan situasi yang masih penuh ketidakpastian sampai dengan akhir 2009 pemerintah memutuskan bahwa harga saat ini yang ditetapkan untuk premium dan solar masih sesuai dengan tujuan untuk menjaga kepastian dan stabilitas perekonomian nasional, namun tetap menjaga asas-asas transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan harga BBM tahun 2009.     

     Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi Harry Z. Soeratin, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2009