Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan Indonesia terbebani sedikitnya Rp2,02 triliun akibat pengelolaan utang luar negeri yang serampangan. Wakil Ketua KPK, Haryono mengatakan hal itu di Jakarta, Rabu, menindaklanjuti hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pengelolaan hutang luar negeri. Haryono mengatakan, beban Rp2,02 triliun itu didapat atas audit BPK terhadap 66 perjanjian utang luar negeri senilai Rp45,29 triliun. Berdasar informasi, utang itu digunakan untuk membiayai sejumlah proyek di sembilan kementerian/lembaga serta beberapa delapan BUMN. Menurut Haryono, negara harus menanggung beban Rp2,02 triliun karena proyek tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan dalam perjanjian. "Artinya, beban itu tidak perlu dibayar oleh Indonesia kalau proyek dilaksanakan tepat waktu," kata Haryono. Audit terhadap perjanjian utang menyebutkan, beban Rp2,02 triliun berupa biaya komitmen dan eskalasi yang harus dibayar Indonesia karena tidak melaksanakan proyek seperti perjanjian. Beban biaya tambahan itu timbul atas pelaksanaan 25 proyek yang didanai utang luar negeri. Haryono menjelaskan, audit BPK juga menyebutkan, utang luar negeri senilai Rp438,47 miliar tidak dapat dimanfaatkan sesuai tujuan semula. Utang yang tidak dapat dimanfaatkan itu sedianya untuk membiayai sembilan proyek di sejumlah instansi pemerintah. Audit BPK menyatakan, utang yang tidak dapat dimanfaatkan itu disebabkan oleh lemahnya perencanaan, lemahnya koordinasi, serta lemahnya monitoring perjanjian utang. Dalam audit terhadap 66 perjanjian utang luar negeri, BPK dan KPK juga mencatat ada dana talangan pemerintah sekira Rp5,04 miliar dan 4,23 juta dolar AS yang berisiko tidak bisa diganti oleh negara pemberi utang. "Itu antara lain karena dokumen tidak lengkap dan tidak dipenuhinya syarat-syarat administratif," kata Haryono menambahkan. Terkait keberadaan rekening khusus untuk menampung dana talangan pemerintah, Haryono menyatakan terdapat saldo sekira Rp74,34 miliar yang masih mengendap di 61 rekening. Sejumlah rekening itu belum ditutup meski sudah memasuki tenggat waktu pemberian utang. "Bunga rekening-rekening itu masih berlangsung sampai sekarang," kata Haryono. Dalam audit tersebut juga dinyatakan pengendalian atas aset negara yang berasal dari utang luar negeri tidak memadai. Hal itu mengakibatkan timbulnya risiko kehilangan dan penyalahgunaan aset negara senilai Rp207,79 miliar. Kemudian, terdapat sejumlah klausul yang tidak disyaratkan dalam perjanjian utang, sehingga berpotensi memberatkan keuangan negara minimal Rp36,38 miliar. Klausul tersebut antara lain tentang biaya asuransi, biaya komitmen, dan biaya jasa bank penatausahaan. Rencananya, KPK akan meminta klarifikasi dari Departemen Keuangan, Bappenas, Bank Indonesia, Kementerian/Lembaga, serta sejumlah BUMN terkait potensi beban negara utang luar negeri tersebut. "Kita ingin hal-hal yang ditemukan BPK tidak terjadi lagi," kata Haryono. Haryono menyayangkan pengelolaan utang luar negeri yang serampangan. Dia mengatakan, pengelolaan utang luar negeri kemungkinan diperparah dengan pengelolaan kekayaan sendiri yang tidak semestinya. "Ada kemungkinan uang negara yang masih nganggur," kata Haryono menambahkan.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009