Jakarta, (ANTARA News) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) membantah hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang menyatakan bahwa praktek suap telah terjadi di MUI dengan indeks suap 10 persen.

"Kami meminta TII menarik pernyataan tersebut. Ini merugikan nama baik MUI sebagai lembaga para ulama dan mengarah pada isu SARA," kata Ketua MUI KH Amidhan dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.

Sertifikasi halal yang dimaksudkan oleh survei TII, ujarnya, diselenggarakan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM), sedangkan MUI yang mewadahi LPPOM merupakan lembaga musyawarah ulama, tidak terkait dengan sertifikasi.

"Survei ini bias dan pernyataan manajer riset TII Franky Simanjuntak yang dimuat media massa merupakan fitnah dan menyesatkan," katanya.

Ia juga menganggap aneh MUI dimasukkan dalam 15 lembaga yang disurvei, padahal MUI bukan BUMN, bukan lembaga pemerintah seperti 14 yang lain yang dibiayai oleh APBN atau didanai publik.

Dari 177 responden yang menjawab survei terkait MUI ternyata 52 responden hanya disebut dari sektor manufaktur non migas, 92 hotel dan restoran, 10 keuangan dan pelayanan bisnis serta tidak dirinci siapa saja mereka, sehingga indeks suap 10 persen (17 responden) itu tidak valid dan terlalu dangkal, tambahnya.

Sementara itu Ketua LPPOM MUI Nadratuzzaman mengelak bahwa tiket pesawat dan hotel termasuk bentuk suap dalam pelayanan sertifikasi seperti dinyatakan TII.

LPPOM MUI sebagai lembaga sukarela memasukkan tiket pesawat dan akomodasi serta honor Rp300 ribu per hari dalam komponen biaya proses sertifikasi halal, ujarnya.

Kalau di lembaga pemerintah atau BUMN, ujarnya, biaya perjalanan dan akomodasi yang dibebankan kepada pihak yang dilayani bisa dikategorikan suap karena auditor sudah mendapat SPPD.

"Sedangkan auditor LPPOM MUI adalah dosen-dosen IPB dan UI, auditor lepas yang ingin membantu MUI dan umat, sementara MUI tidak punya dana dari APBN atau dari publik untuk membiayai mereka," katanya.

Pihaknya, ujarnya, juga sudah mengingatkan kepada pihak yang ingin mendapatkan sertifikasi halal MUI agar tidak memberi honor lain di luar aturan yang ditetapkan.

"Tidak ada aliran dana yang dinikmati perseorangan di LPPOM MUI karena tiket pesawat dan hotel diberikan langsung dan digunakan habis untuk operasional, demikian pula biaya sertifikasi merupakan kas LPPOM untuk lab dan peralatan, tidak untuk MUI," katanya.

Namun ia juga tidak membantah kemungkinan adanya perantara sertifikasi halal seperti ahli kimia dari perusahaan yang mengalokasikan budget tertentu bagi sertifikasi halal kepada perusahaannya sehingga perusahaan memiliki persepsi buruk terhadap MUI.(*)

 

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009