Jakarta, 3/3 (ANTARA) - Terkait dengan permasalahan adanya tunggakan pajak sebesar US$113,109,629.59 sebagaimana pemberitaan di media massa dapat disampaikan bahwa tunggakan pajak tersebut adalah hasil pemeriksaan BPKP pada 5 (lima) Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang laporannya disampaikan pada tahun 2008 dan 2009. Menindaklanjuti temuan BPKP tersebut, Direktorat Jenderal Anggaran telah menyampaikan surat kepada KKKS yang bersangkutan agar melakukan pembayaran kekurangan pajak sebagaimana hasil pemeriksaan BPKP dimaksud.

     Dalam perkembangan terakhir, dari total pajak yang terutang sebesar US$113,109,629.59, telah dilakukan penyelesaian oleh beberapa KKKS sebesar US$29,615,956.71 (26,18%). Dengan demikian, posisi saat ini (tanggal 24 Pebruari 2009), PPh migas yang masih terutang adalah sebesar US$83,493,672.88 (73,82 %).

     Pada dasarnya penerimaan negara yang diterima dari sektor migas sampai dengan saat ini adalah berasal dari kontraktor production sharing yang kontrak-kontraknya disusun berdasarkan UU No. 8 tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Berdasarkan Kontrak Production Sharing (kontrak kerja sama), secara umum total bagian Pemerintah dan Kontraktor yang dihitung dari Net Operating Income (NOI), adalah sebagai berikut:
   
     Dalam total bagian yang diterima Pemerintah tersebut sudah mencakup seluruh kewajiban perpajakan kontraktor (a.l.: PPh, PPN, PBB, PDRD) dan kewajiban bukan pajak (a.l.: iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi).

     Sementara itu, penerimaan dari kegiatan hulu migas dalam valas disetorkan ke rekening valas Departemen Keuangan dan penerimaan dalam Rupiah disetorkan ke rekening Bendahara Umum Negara (BUN) pada Bank Indonesia. Hal ini sesuai dengan:
   
     o Instruksi Presidium Kabinet Ampera No. 29/EK/IN/12/1966 yang berisi instruksi kepada Menteri Keuangan agar merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan penyetoran langsung oleh perusahaan-perusahaan minyak asing bagian pemerintah dalam bentuk valuta asing ke Rekening Valuta Asing Departemen Keuangan pada BNI Unit I (sekarang Rekening Valuta Asing Departemen Keuangan berada di Bank Indonesia).

     o Intruksi Presiden No. 12 tahun 1975 yang mengatur tentang penyetoran secara langsung seluruh bagian penerimaan negara dari sektor migas, yang berasal dari kegiatan Kontrak Karya, Kontrak Production Sharing dan Pertamina Sendiri, baik yang berupa valuta asing maupun rupiah ke rekening Departemen Keuangan di Bank Indonesia.

     o Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1982 tentang kewajiban dan tatacara penyetoran pendapatan Pemerintah dari hasil operasi Pertamina sendiri dan Kontrak Production Sharing. Dalam PP No. 41 ini antara lain diatur bahwa penerimaan valas (PPh dan hasil ekspor migas) disetor ke Rekening Valuta Asing Departemen Keuangan dan penerimaan rupiah disetor ke rekening BUN, pada Bank Indonesia.

     Penerimaan dari kegiatan usaha hulu migas s.d. tahun 2000, dicatat dalam APBN sebagai penerimaan migas (tidak dipisahkan antara penerimaan PPh migas dan penerimaan SDA migas). Namun dalam rangka persiapan pelaksanaan UU otonomi daerah, sejak tahun anggaran 2000 pencatatan Penerimaan dari kegiatan usaha hulu migas dalam APBN telah dipisahkan menjadi penerimaan PPh migas dan SDA migas (Penerimaan Negara Bukan Pajak).

     Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi Harry Z. Soeratin, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan


Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2009