Bandung (ANTARA News) - Pakar Politik Universitas Parahyangan, Asep Warlan dan Pakar Komunikasi Politik Universitas Islam Bandung, Karim Suryadi menyatakan kampanye Pemilu saat ini tidak mampu menggiring pada pencerdasan bangsa namun lebih pada kampanye transaksional langsung.

Saat Diskusi Terbatas "Menggagas Kampanye Cerdas" di Bandung, Rabu, Asep menuturkan partai politik dan calon legislatif (caleg) cenderung mengambil langkah untuk mendapatkan suara ketimbang memberikan ruang pendidikan politik kepada masyarakat karena tujuan utama Pemilu ini adalah kursi di parlemen.

"Banyak caleg yang hanya mengandalkan baliho atau spanduk saja tanpa langsung menyentuh aspirasi masyarakat sehingga kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya tidak terakomodasi dan terserap dengan baik," katanya.

Senada dengan Asep, Pakar Komunikasi Politik, Karim menilai kampanye yang dilakukan oleh partai dan caleg saat ini hanya berada di permukaan saja tanpa melakukan komunikasi yang intensif dengan masyarakat sehingga tidak menimbulkan jalinan kedekatan emosional diantara keduanya.

"Dalam kampanye yang dilakukan oleh caleg saat ini, kebanyakan pesan tidak sampai ke masyarakat karena komunikasi yang terjadi hanya satu arah saja karena hanya memasang atribut Pemilu ditambah dengan tidak adanya perencanaan matang dari tim sukses," katanya.

Ia menilai pemasangan atribut Pemilu disembarang tempat menunjukkan ketidakmampuan caleg ataupun tim suksesnya dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. "Cara yang paling mudah lainnya adalah memberikan sejumlah uang ataupun barang kepada pemilih sehingga mendapat kepastian raihan suara,"katanya.

Cara-cara transaksional yang telah merasuki masyarakat selama lebih dari 30 tahun ini membuat sistem politik di Indonesia tidak berimbang antara pengetahuan politik dengan realitas yang ada di lapangan dimana masyarakat pada akhirnya tidak mengetahui esensi pemilihan itu sendiri.

Asep menjelaskan kampanye cerdas yang seharusnya dilakukan parpol maupun caleg adalah memberikan pencerahan atas substansi Pemilu itu sendiri melalui kampanye dialogis dan terbuka.

"Tentunya beberapa strategi perlu dilakukan dengan melibatkan unsur kampus yang nantinya akan mampu meningkatkan kualitas kampanye itu sendiri," katanya.

Setelah dilakukan kampanye dengan materi pendidikan politik maka parpol atau caleg harus mampu memberikan komitmen berupa pernyataan tertulis kepada masyarakat jika terpilih nanti. "Kepercayaan masyarakat akan meningkat karena adanya komitmen tertulis itu," ujar Asep.

Karim menambahkan kampanye yang tersegmentasi akan mampu menyentuh hati masyarakat dengan mempertimbangkan latar belakang ekonomi, sosial dan budaya sehingga penggunaan slogan atau janji sebuah perubahan dapat terasa langsung sesuai dengan kebutuhannya.

"Simpanlah atribut kampanye seperti spanduk atau baliho dengan tulisan program yang akan dilaksanakan peserta Pemilu ditempat-tempat yang tepat," katanya.

Sementara itu Caleg PAN untuk Daerah Pemilihan Jabar Satu, Deddy Djamaludin membenarkan masih besarnya pengaruh transaksi uang dalam kampanye yang saat ini dilakukan. "Saya seringkali dibenturkan pada masalah bantuan uang saat berinteraksi langsung dengan masyarakat," katanya.

"Saya menilai hal ini dikarenakan terlalu banyak janji yang diumbar partai atau caleg saat Pemilu-Pemilu lalu sehingga masyarakat marah dan meminta bukti berupa uang kepada kami," katanya.

Deddy membenarkan selama ini terjadi parade janji dari parpol atau caleg saat menjelang Pemilu yang tidak dapat dibuktikan sehingga masyarakat apatis pada DPR ataupun partai.

Ketika ditanyakan cara Deddy berkampanye, anggota DPR RI itu menjawab metode kampanye yang saat ini paling efektif adalah memberikan kebutuhan masyarakat secara langsung tanpa harus meminta suaranya.

"Jika mereka membutuhkan pengobatan misalnya maka kita memberikannya sehingga hasilnya langsung terasa masyarakat dan tidak akan menganggap hanya sekedar janji," katanya.

Ia membenarkan kampanye ini bersifat transaksional namun ia berkelit metode ini sarat dengan politik uang. "Ini hanya bersifat transaksional tidak langsung," katanya.

Dalam diskusi ini akhirnya disepakati bahwa kampanye cerdas bagi masyarakat tidak akan tercapai pada Pemilu 2009 ini karena untuk mengubah cara pandang masyarakat masih dibutuhkan waktu hingga dua kali Pemilu mendatang.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009