Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) meminta pemerintah menerapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara terhadap tepung terigu impor dari Srilanka, Australia, dan Turki, yang digugat telah melakukan dumping oleh tiga produsen terigu nasional.

"Kami berharap pemerintah menerapkan BMAD sementara terhadap terigu impor asal Turki, Australia, dan Srilanka. Selama ini pemerintah belum pernah memanfaatkan perangkat (BMAD sementara) tersebut," ujar Direktur Eksekutif APTINDO Ratna Sari Loppies, di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan pada 16 Oktober 2008 tiga produsen terigu nasional yaitu PT Eastern Pearl Flour Mills, PT Sriboga, dan PT Panganmas, telah mengajukan petisi anti dumping kepada KADI (Komite Anti Dumping Indonesia).

Gugatan itu terkait dugaan dumping oleh produsen tepung terigu Srilanka, Australia, dan Turki, ketika masuk pasar Indonesia. Akibatnya, kata Ratna, total produksi tiga produsen tepung terigu nasional itu turun 8,7 persen.

Kapasitas terpasang mereka juga turun 7,9 persen, "return on investment" (ROI) negatif, dan kehilangan keuntungan, serta produktivitas turun 2,6 persen, yang mengakibatkan mengurangan tenaga kerja sebesar 5,5 persen.

Dengan adanya dumping yang dilakukan produsen dari tiga negara tersebut, lanjut dia, mengakibatkan penguasaan pasar terigu impor meningkat 7,8 persen.

Dalam suratnya kepada Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menperin, tertanggal 18 Maret 2009, yang melaporkan perkembangan gugatan dumping tersebut, APTINDO mengemukakan sejumlah faktor yang menyebabkan tiga anggotanya mengajukan gugatan dumping.

Pada surat tersebut, produsen tepung terigu nasional menuduh produsen dari Srilanka melakukan margin dumping sebesar 38,5 persen. APTINDO menengarai Srilanka melakukan dumping tepung terigu di Indonesia setelah mendapati tuduhan yang sama di beberapa negara.

Sedangkan Australia dituduh melakukan dumping dengan margin sebesar 25,5 persen. Hal itu terlihat dari harga gandum Australia yang diimpor oleh produsen tepung terigu nasional yang mencapai 482 dolar AS per ton (CIF), namun harga impor tepung terigu asal negara itu rata-rata 471 dolar AS per ton.

Sementara biaya angkut dengan kapal laut Australia ke Jakarta, rata-rata 700 dolar AS untuk peti kemas ukuran 20 feet atau sekitar 35 dolar AS per ton.

Selama ini para produsen tepung terigu Indonesia sendiri mengimpor gandum sebagai bahan baku dari Australia. Pada 2008 impor gandum dari Australia mencapai sekitar 1,5 juta ton atau 30 persen dari total ekspor gandum negara tersebut. Sedangkan total impor tepung terigu Australia ke Indonesia mencapai 141.549 ton atau sekitar 30 persen dari total impor tepung terigu Indonesia.

"Kami perkirakan sebagian besar (impor tepung terigu itu) mengandung dumping," kata Ratna.

Negara lainnya yaitu Turki dituduh melakukan dumping dengan margin 51,1 persen. Dumping tepung terigu oleh Turki ditengarai dilakukan melalui subsidi ekspor. Turki, kata Ratna, merupakan negara produsen gandum dengan protein rendah, sehingga negara itu juga mengimpor gandum protein tinggi dari negara lain.

"Untuk menyeimbangkan pasokan tepung terigu protein tinggi dan rendah, Turki mengekspor tepung terigu berprotein rendah ke negara lain dengan memberi subsidi ekspor. Selama masa investigasi saat ini saja impor (tepung terigu) dari Turki telah melonjak 40 persen," katanya.

Pada 2008 impor tepung terigu Indonesia mencapai sekitar 500 ribu ton yang didominasi impor dari Turki (35,38 persen), Australia (30persen), dan Srilanka (13,7 persen).
(*)
(T.R016/

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009