Padang (ANTARA News) - Suara "nyanyian" bilou (Hylobates klossii) sejenis kera endemik di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, secara turun temurun dipercayai warga lokal sebagai petanda akan datangnya bencana termasuk sebagai deteksi dini datangnya gelombang tsunami.

Manager Program Penanggulangan Bencana LSM Internasional Surfaid Australia di kepulauan Mentawai, Wawan Budianto kepada ANTARA News di Padang, Jumat, menyebutkan, Surfaid melaksanakan program tersebut di mentawai sejak 2007 menyusul a bencana tsunami Aceh, 26 Desember 2004 dan Mentawai kemudian termasuk daerah rawan bencana tersebut.

Ia menjelaskan, dari pantauan Surfaid di sejumlah daerah di Kepulauan Mentawai diketahui masyarakat lokal telah memiliki kearifan lokal sistim deteksi dini bencana dari gejala alam sekitar yang didominasi hutan tropis.

Menurut dia, suara "nyanyian" bilou diketahui secara turun temurun telah menjadi bagian dari deteksi dini bencana, dimana masyarakat mempercayai jika mendengar suara binatang itu dengan alunan bunyi tertentu maka dianggap sebagai petanda akan ada bahaya.

Bilou adalah jenis kera unik menyerupai siamang endemik yang hanya dijumpai di Kepulauan Mentawai. Sekujur tubuh bilou dipenuhi rambut hitam dan di bagian mata berbulu putih.

Sebagai primata endemik, bilou kemudian ditetapkan sebagai bintang dilindungi oleh pemerintah Indonesia maupun dunia termasuk oleh masyarakat lokal Mentawai.

"Sejak turun temurun, masyarakat lokal Mentawai dilarang berburu bilou," kata Wawan.

Ia menyebutkan, selain untuk deteksi bencana, suara bilou juga petanda dihentikannya kegiatan perburuan binatang di huran Mentawai.

"Jika ada warga berburu lalu mendengar suara bilou, maka mereka harus menghentikan perburuan, karena jika dilanjutkan akan ada bahaya," tambahnya.

Dari pendataan Surfaid diketahui sekitar 16.000 warga Kepulauan Mentawai bermukim di kawasan pesisir yang rawan bencana tsunami.

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009