Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Negara BUMN menyatakan sedang berupaya menyelesaikan utang 29 BUMN yang berupa pinjaman Rekening Dana Investasi/Subsidiary Loan Agreement (RDI/SLA) senilai Rp14,54 triliun.

Utang RDI merupakan pinjaman yang bersumber dari rekening dana investasi, sedangkan SLA atau Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman adalah perjanjian penerusan pinjaman luar negeri kepada BUMN/Persero, kata Sekretaris Kementerian Negara BUMN Muhammad Said Didu, di Kantor Kementerian BUMN di Jakarta, Selasa.

Didampingi Direktur Sistem Manajemen Investasi Ditjen Perbendaharaan Negara Depkeu, Soritaon Siregar, Said Didu menjelaskan, utang 29 BUMN tersebut terdiri atas mata uang lokal Rp7,37 triliun, dalam dolar AS 715,09 juta, 48,60 juta DEM (German Mark), dan 16,31 juta Euro.

Pinjaman itu bukan merupakan pinjaman langsung BUMN ke luar negeri, namun merupakan utang BUMN kepada pemerintah yang bersumber dari dana luar negeri.

RDI/SLA mulai dikelola BI tahun 1971 dan selanjutnya dialihkan ke Departemen Keuangan sejak 1981.

"Jadi utang luar negeri di BUMN yang secara langsung tidak ada, akan tetapi utang tersebut adalah dalam bentuk RDI/SLA. Sehingga... bukan utang luar negeri BUMN," kata Said, sekaligus membantah pemberitaan sejumlah media massa bahwa utang luar negeri BUMN mencapai Rp15 triliun.

Ia menjelaskan, pada mulanya jumlah pinjaman RDI/SLA di BUMN mencapai Rp49,79 triliun (85 BUMN). Yang masuk kategori lancar Rp34,32 triliun (41 BUMN), dan yang berkategori perlu penyelesaian antara Pemerintah (Depkeu) dan BUMN sebesar Rp15,48 triliun (44 BUMN).

"Dari Rp15,48 triliun itu, hingga Maret 2009 telah diselesaikan Rp938,69 miliar (15 BUMN) dan telah diputuskan Menteri Keuangan. Sisanya Rp14,54 triliun berada di 29 BUMN," tegas Said.

Menurut Soritaon Siregar, selama ini belum ada kebijakan penyelesaian yang bersifat menyeluruh terhadap RDI/SLA, sampai diterbitkakannya Peraturan Menteri Keuangan No.17/PMK.05/2007 pada 19 Februari 2007 tentang Penyelesaian Piutang Negara yang bersumber dari SLA.

Sedangkan penyelesaian utang RDI melalui Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. 31/PB/2007 pada 29 Mei 2007.

Soritaon menambahkan, dalam ketentuan tersebut. penyelesaian pinjaman dapat dilakukan empat cara yaitu, penjadwalan kembali, perubahan persyaratan, penyertaan modal negara (PMN), dan penghapusan.

Meski begitu ia tidak menyebutkan secara rinci target penyelesaian utang RDI/SLA tersebut.

"Untuk tahap awal yang paling memungkinkan dilakukan adalah penjadwalan kembali utang, dan perubahan persyaratan, sedangkan untuk PMN dan penghapusan harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan termasuk dari DPR," kata Soritaon.

Secara keseluruhan ujarnya, dalam menyelesaikan utang tersebut BUMN yang bersangkutan harus menyiapkan rencana usaha (business plan) dalam waktu enam bulan ke depan untuk mengetahui apakah masih ada harapan perusahaan tersebut dilanjutkan atau terpaksa ditutup.

"Harus dilakukan dengan sangat hati-hati setelah melalui tim kerja, tim teknis, untuk selanjutnya meminta rekomendasi dari tim di Menteri Keuangan," tegas Soritaon.

Said Didu tidak berani menyebutkan nama perusahaan 29 BUMN yang memiliki utang RDI/SLA tersebut.

"Tidak etis kalau disebutkan, karena akan mengganggu proses bisnis perusahaan yang bersangkutan. Yang pasti...dari 29 BUMN tersebut tidak terdapat BUMN berkategori besar," kata Said.

Sebelumnya diberitakan bahwa PLN merupakan salah satu BUMN yang memiliki utang terbesar.

"Tidak ada BUMN besar, atau bahkan 20 BUMN besar tidak ada dalam daftar 29 BUMN yang memilik utang RDI/SLA itu," tegasnya.

Ia hanya menjelaskan, bahwa salah satu perusahaan yang paling besar memiliki utang RDI/SLA adalah PT Pann Multifinance yang mendapat proyek pengadaan kapal ikan.

Pengembangan pesawat N250 oleh PT Dirgantara Indonesia, rehabilitasi pasar uang dan pasar saham PT Bahana.

Sedangkan RDI/SLA untuk perusahaan lainnya meliputi rehabilitasi pabrik kondom, pengoperasian terminal terapung Semen Baturaja, pengadaan simulator CN 235, pembangunan laboratorium elektronika terapan.

"Semua proyek tersebut merupakan penugasan pemerintah, namun kemungkinan besar mengalami masalah karena tidak dilakukannya studi kelayakan untuk kelaikan usaha. Selain itu juga terkait dengan krisis keuangan tahun 1998 ketika nilai tukar rupiah merosot tajam terhadap dolar AS dari sekitar Rp2.000 per dolar menjadi di atas Rp10.000 per dolar," kata Said.
(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009