Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Indonesia Economic Intelligence Sunarsip mengatakan, bila pertemuan puncak kelompok 20 negara (G20) pada akhirnya gagal membuat suatu kesepakatan yang berarti, akan membuat krisis perekonomian dunia semakin dalam.

"Ini yang menjadi masalah adalah persepsi, bagaimanapun persepsi para pelaku ekonomi akan semakin suram bila G20 gagal membuat kesepakatan yang berarti," katanya di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan, selama ini G20 dinilai sebagai salah satu tumpuan bagi dunia internasional dalam menghadapi kondisi krisis yang semakin hari semakin memprihatinkan.

"Jadi kesepakatan yang ada sangat penting mengangkat optimisme para pelaku ekonomi," katanya

Menurut dia, pertemuan G20 jangan sampai terjebak dalam prosedur penanganan krisis yang seragam. Hal ini karena setiap negara memiliki karakteristik krisis yang berbeda.

"Sehingga bila nantinya adsa prosedur yang seragam justru akan lebih kacau lagi, karena negara-negara tersebut ada yang merupakan sumber krisis juga ada negara yang terkena dampak krisis. Jadi penanganan di AS harusnya tetap berbeda dengan di Indonesia," katanya.

Ia menambahkan, sebaiknya dalam pertemuan G20, lebih menekankan komitmen dari setiap negara untuk membiayai krisis yang terjadi.

"Misalnya AS, dalam pertemuan itu akan berkomitmen pembiayaan krisis sesuai dengan kerugian yang dideritanya, begitu pula Eropa dan Jepang. Tapi yang paling penting adalah meminta komitmen dari negara penyebab krisis," katanya.

Ia menambahkan, bila nantinya AS hanya berkomitmen lebih sedikit dibandingkan negara lain maka hal ini bisa dipertanyakan.

"Sebab kerugian yang diderita AS yang paling besar masak komitmen mereka untuk membiayai kecil, nah hal semacam ini yang bisa ditegaskan," katanya.

Sedangkan penanganan krisis nantinya akan diserahkan kebijakan masing-masing negara. "Karena negara itu yang mengetahui karakteristik dan struktur krisisnya, tidak bisa dipaksakan harus seperti negara lain," katanya.

Ekonom Standard Chartered Fauzi Ikhsan mengatakan, misi G20 setidaknya harus menyukseskan dua agenda. Pertama mendorong agar tidak terjadi perang kenaikan tarif impor.

"Sehingga masing-masing negara masih bisa mengekspor, kalau ini bisa disepakati dan dilaksanakan tentu inikana mengurangi tekanan penurunan perekonomian global, karena perdagangan jalan," katanya.

Kedua, menurut dia, kesepaktan terkait pengaturan sistem keuangan global yang lebih ketat. Ia mengatakan, pengaturan yang lebih ketat terhadap sistem keuangan diperlukan setelah melihat akibatnya saat ini dimana krisis ekonomi dunia muncul karena krisis keuangan di AS.

"Ini penting, karena saat ini dunia semakin terintegrasi, sehingga dampak dari kehancuran sistem keuangan bisa dengan cepat menjalar ke sektor riil. Bila kedua agenda ini bisa diselesaikan saya kira hal itu sudah cukup baik," katanya.(*)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009