Jakarta (ANTARA News) - Rangkaian pemilu telah memasuki tahap akhir. Berbagai bentuk pelanggaran dalam bentuk dugaan politik uang menghiasi pemberitaan media massa.

Momok korupsi yang merugikan keuangan negarapun mulai menghantui.Kekhawatiran itu wajar karena tidak satu pihakpun mengatahui dengan pasti sumber dana parpol dan kampanye calon anggota badan perwakilan.

Terlepas dari asal sumber dana, Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) berani berteriak lantang bahwa sebagian besar pelanggaran kampanye Pemilu 2009 adalah politik uang.

Koordinator Nasional JPPR Daniel Zuchron memaparkan, politik uang dalam Pemilu 2009 mencapai 30 persen dari total temuan pelanggaran dalam riset JPPR.

"Di 20 kabupaten ditemukan pelanggaran kampanye berupa politik uang oleh sejumlah partai politik. Pelanggaran ini merupakan pelanggaran terbanyak dari seluruh temuan oleh JPPR," kata Daniel.

Perhitungan JPPR itu selaras dengan pengalaman dan kekhawatiran publik di sejumlah daerah.

Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Pemilu) Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, adalah salah satu pihak mengungkap praktik politik uang. Praktik itu diduga dilakukan oknum calon anggota legislatif (Caleg) sebuah parpol.

Kekhawatiran itu juga menggugah publik untuk meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut aktif memantau indikasi tindak pidana korupsi.

Terpasung UU

Pemilu sebagai momentum yang khusus adalah hal yang tidak terbantahkan. Dalam terminologi hukum, hal yang khusus bisa diatur dengan aturan yang bersifat khusus pula (lex specialis), dalam hal ini adalah UU Pemilu.

Ketua KPK Antasari Azhar mengatakan, hukum melarang penggunaan aturan lain jika ada aturan yang lebih khusus dan cocok untuk mengatur suatu hal yang khusus pula.

Antasari mengaku mendengar kabar bahwa sejumlah fasilitas negara yang digunakan selama kampanye. Namun demikian, KPK menghadapi sejumlah batasan untuk menindak berbagai pelanggaran itu.

Menurut dia, penggunaan fasilitas negara dalam kampanye tidak serta merta menjadi kewenangan KPK untuk menindak, melainkan wewenang KPU serta lembaga terkait.

Menurut dia, KPK harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang diatur dalam UU Pemilu. Antasari menjelaskan, penggunaan fasilitas negara selama kampanye merupakan delik pemilu, sehingga bisa diusut dengan menggunakan UU Pemilu karena UU itu bersifat lebih khusus (lex specialis).

"KPK hanya bertindak jika penggunaan fasilitas itu telah merugikan keuangan negara," kata Antasari kepada ANTARA di ruang kerjanya.

Antasari menjelaskan, KPK akan langsung bertindak jika pelaksanaan kampanye didanai dengan menggunakan uang negara yang ada di berbagai sumber.

Dia mencontohkan, KPK akan bertindak jika sebuah BUMN mengalirkan dana untuk mendukung kegiatan kampanye salah satu atau beberapa calon anggota lembaga legislatif.

"Namun sampai saat ini belum ada hal seperti itu," kata Antasari menambahkan.

Pencegahan

Akibat ruang gerak yang terbatas, KPK hanya bisa menangani perkara pemilu yang melibatkan penyelenggara negara dan merugikan keuangan negara, seperti diamanatkan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penanganan itupun tidak terwujud dalam bentuk tindakan yang represif, tetapi hanya dalam kegiatan pencegahan.

Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan oleh KPK adalah menelusuri pelaksanaan berbagai proyek pengadaan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang notabene adalah penyelenggara negara.

Untuk itu, KPK berniat menelusuri kredibilitas rekanan KPU dalam berbagai proyek pengadaan logistik pemilu.

"Kami minta daftar rekanan, sudah diberikan. Apa gunanya? Untuk melihat kredibilitas mereka," kata Antasari.

Antasari dalam wawancara khsusus dengan ANTARA menegaskan, pihaknya sudah mengantongi sejumlah nama perusahaan rekanan KPU. KPK juga sudah mulai menganalisis profil serta kredibilitas para rekanan tersebut.

Namun, Antasari tidak bersedia membeberkan nama-nama rekanan dan membeberkan langkah konkret yang akan dilakukan oleh KPK.

Dia hanya menjelaskan, upaya KPK itu masih terbatas pada upaya pencegahan dalam bentuk supervisi. KPK harus berhati-hati bertindak supaya tidak menyalahi dan melangkahi aturan dalam UU Pemilu.

Namun demikian, Antasari menegaskan, KPK juga siap melakukan upaya penindakan yang represif jika memang ada indikasi tindak pidana korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara dan melibatkan penyelenggara negara.

Untuk itu, KPK siap bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga yang berhak melakukan audit terkait kemungkinan adanya kerugian negara.

Di tempat terpisah, Ketua BPK, Anwar Nasution menegaskan, lembaga yang dipimpinnya siap melakukan audit terhadap dugaan penyelewengan keuangan negara untuk kegiatan politik menjelang pemilu.

"Tidak ada keuangan negara yang tidak audit BPK, termasuk kegiatan kepala daerah, baik gubernur, wali kota atau bupati, yang memanfaatkan uang negara dengan tujuan politik atau lainnya," kata Anwar.

Dia bahkan menegaskan, berdasar temuan BPK, sejumlah kepala daerah lebih memanfaatkan uang negara untuk menarik simpati warga dengan menggalakkan kegiatan dan bantuan sosial.

Menurut dia, banyak kegiatan sosial yang salah sasaran dan dilaksanakan dengan menyalahi ketentuan pengelolaan keuangan negara.

Tekad BPK dan berbagai kasus di daerah seharusnya menjadi sinyal bagi KPK. Berbekal kebulatan tekad serta independensi, KPK seharusnya bisa lebih agresif dalam mengusut tindak pidana korupsi politik dan berhentimenjadikan UU Pemilu sebagai alasan atas lambatnya kinerja lembaga pembasmi koruptor itu.(*)

Oleh oleh : F.X. Lilik Dwi Mardjian
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009