Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia siap mengakuisisi 1,5 persen kepemilikan saham India di Bank Pembangunan Asia (ADB), untuk menambah kepemilikannya di lembaga keuangan multilateral itu yang sekarang sebesar 5,5 persen.

Sekretaris Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Sestama Bappenas, Syahrial Loetan, di Jakarta Senin mengatakan, rencana pemerintah untuk mengakusisi saham India tersebut dijadwalkan dibicarakan pada saat Sidang Tahunan ADB ke-42 di Bali, 2 hingga 5 Mei mendatang.

"Kita ada potensi untuk menambah saham dari saat ini 5,5 persen. Kepastiannya, nanti akan diputuskan oleh rapat bersama Dewan Gubernur ADB yang salah satunya akan membicarakan hal itu," katanya.

Menurut Syahrial, rencana penambahan saham Indonesia di ADB sebetulnya bisa direalisasikan dalam dua opsi yakni melalui akuisisi kepemilikan saham dengan menerima penawaran penjualan saham India di ADB sekitar 1,5 persen.

Selain itu, juga dapat dilakukan dengan mengisi ketidakcukupan peningkatan modal (General Capital Increase/GCI) seperti seluruh negara anggota lembaga donor lainnya.

Dikatakannya, opsi penambahan saham dari India sebelumnya pernah disampaikan langsung kepada pemerintah oleh Presiden ADB Haruhiko Kuroda.

"Pada kunjungannya ke Bappenas, Haruhiko menawarkan apakah kita mau menambah atau tidak jumlah kepemilikan saham kita. Sebab ada peluang dimana India menawarkan sebagian kepemilikan sahamnya," katanya.

Berbeda dengan penambahan saham melalui opsi GCI, tambahnya, penambahan kepemilikan saham melalui akuisisi kepemilikan saham India dapat lebih berdampak pada kekuatan politis Indonesia di dalam lembaga keuangan yang berbasis di Manila, Filipina tersebut.

Menurut dia, melalui opsi tersebut Indonesia memiliki hak suara lebih besar dalam menentukan pemberian pinjaman ADB kepada suatu negara anggota lainnya.

"Makin besar suara kita, makin kuat kita mendesakan yang kita kehendaki," kata Syahrial.

Menanggapi hal itu, Ketua Koalisi Anti Utang Indonesia Dani Setiawan menilai, langkah pemerintah menambah porsi kepemilikan saham di ADB mengabaikan prioritas yang seharusnya diperhatikan pemerintah.

"Penambahan kepemilikan saham sama artinya menambah peluang kesempatan yang hilang untuk melakukan pendanaan pengurangan beban kemiskinan di dalam negeri yang lebih prioritas," katanya.

Penambahan kepemilikan saham di ADB, lanjutnya, sebetulnya tidak perlu karena porsi kepemilikan 5,5 persen bagi Indonesia dengan kapasitas pembiayaan terbatas sebetulnya sudah cukup.

Dengan bertahan di porsi sekarang, diharapkan bisa mengurangi keinginan pemerintah melakukan penambahan jumlah utang.

"Namun dengan peluang ini, maka Indonesia lebih banyak menciptakan peluang lebih besar jatuh ke dalam kubangan utang lebih dalam," katanya.

Lebih jauh, Dani mengkritik kesepakatan penambahan modal 200 persen ADB karena kesepakatan itu akan mendorong lebih banyak negara berlomba-lomba masuk ke dalam perangkap utang.

Menurut dia seharusnya sidang ADB juga memberikan alternatif bagaimana negara-negara melakukan pemulihan ekonominya tanpa penarikan utang dalam jumlah yang lebih besar.

Diketahui, jumlah kepemilikan saham Indonesia di ADB mencapai 5,434 persen dari total modal pokok ADB sebesar 55 miliar dolar As atau menempati urutan keenam pemilik saham terbesar di lembaga keuangan tersebut.

Saat ini kepemilikan modal ADB didominasi oleh Amerika Serikat dan Jepang dengan masing-masing memiliki saham sebesar 15,57 persen, kemudian China 6,4 persen, India 6,3 persen.

Selanjutnya, Australia 5,7 persen, dan Indonesia 5,4 persen, sisanya 45 persen tersebar di 61 negara anggota lainnya.

Sementara itu ADB memiliki peran yang cukup besar bagi Indonesia mengingat jumlah utang yang ditarik negara ini merupakan terbesar diantara 65 anggota lainnya se-Asia Pasifik. Hingga saat ini, utang Indonesia dari ADB mencapai 9,4 miliar dolar AS.

Pada 2008 ADB telah menyetujui pengalokasikan pinjaman sebesar 1,085 miliar dolar AS yang dicairkan melalui pinjaman Asian Development Fund (ADF) senilai 160 juta dolar AS dan pinjaman biasa (ordinary capital resources/OCR) senilai 925 juta dolar AS.

Namun, mulai tahun ini Indonesia tidak bisa lagi mendapatkan pinjaman ADF karena sudah masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah (middle income country).
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009