Jakarta (ANTARA News) - Direktur Atlas Global Initiative Tom G Palmer mengatakan, kecenderungan proteksionisme kebijakan perdagangan pemerintah AS di bawah Presiden Obama mempersulit pemulihan perekonomian dunia.

"Kebijakan Obama cenderung proteksionisme justru mempersulit pemulihan ekonomi. Kampanye obama membeli produk Amerika merupakan kebijakan yang tidak tepat bagi pemulihan ekonomi," katanya dalam seminar krisis global di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan, kebijakan proteksionisme itu sebenanrnya tidak menguntungkan perekonomian secara luas namun hanya menguntungkan sekelompok kecil orang yaitu para industriawan AS.

Ia mengatakan, kebijakan proteksionisme telah membuat harga barang menjadi lebih mahal dari seharusnya, padahal apabila pemerintah membuka kran perdagangan terbuka maka justru akan membuat harga lebih murah, dan ini akan menguntungkan masyarakat mayoritas.

"Kalau masyarakat bisa membeli dari luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari luar negeri, kenapa tidak, jadi kebijakan beli barang Amerika, beli barang Jepang, beli Barang Eropa merupakankebijakan yang bodoh yang menyakiti para konsumen," katanya.

Ia menjelaskan, dengan keterbukaan perdagangan maka perdagangan dunia bisa terus bergerak maju. Ia mencontohkan, apabila harga gula dari produsen AS sekitar 1 dolar AS, sementara dari India misalnya hanya 0,5 dolar, maka konsumen bisa membli produk india lebih murah 0,5 dolar AS.

"Sisa uang itu kan dapat dibelikan barang lainnya yang memicu perdagangan," katanya.

Disisi lain, menurut dia, kekhawatiran terhadap kebangkrutan industri lokal juga terlalu berlebihan. Sebab menurut dia, dalam perdagangan dipastikan keduanya ingin mendapatkan untung.

Untuk itu, ia menambahkan, respon yang akan dilakukan kemudia adalah adanya pemberian nilai tambah yang bisa dijual kembali kepada negara pengekspor.

Ia mencontohkan, gula yang diimpor, kemudian teh yang diimpor, diramu jadi satu, menjadi produk dan kemudian diekspor ke luar negeri, sehingga akan sama-sama menguntungkan.

"Jadi memang ada kekhawatiran industri lokal akan bangkrut karena liberalisasi, namun hal itu tidak serta merta pekerjaan menghilang, sebab akan muncul industri dengan nilai tambah di negara itu, yang kemudian menyerap tenaga kerja," katanya.

Untuk itu, menurut dia, tidak ada alasan bagi AS dan negara-negara maju melakukan proteksionisme.

Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) M Chatib Basri mengatakan, proteksionisme AS akan memiliki efek domino (dampak ikutan) bagi perekonomian di berbagai negara termasuk ke Indonesia. Hal ini karena, AS merupakan pusat perdagangan dunia.

"Ekonomi kita sampe kuartal III 2008 tdk ada apa-apa. Kan kacau karena Amerika krisis. coba kalau Amerika tidak kena, kita tidak akan ngomong ginian (krisis di Indonesia)," katanya.

Ia mengatakan, ketergantungan perdagangan dunia terhadap AS sekitar 12,5 persen dimana hampir semua negara melakukan perdagangan dengan AS, sehingga AS menjadi lokomotif dunia, sehingga bila AS kolaps bisa membuat perekonomian negara lainnya juga kolaps, seperti yang terjadi saat ini.

Ia menambahkan, keterpurukan perekonomian AS saat ini tidak seharusnya di respon dengan kebijakan proteksionisme. Sebab dengan kebijakan tersebut, justru akan membuat krisis menjadi semakin panjang dan sulit untuk pulih.

Menurut dia, dampak darai kebijakan proteksionisme adalah masing-masing negara akan menutup diri, membuat perdagangan dunia yang saat ini diperkirakan tumbuh -11 akan semakin memburuk, dan harga-harga menjadi semakin mahal.

Bila AS melakukan proteksionisme tentu dampaknya lebih besar. Negara-negara yang memiliki perdagangan yang besar dengan AS seperti Jepang akan terpuruk, dan ini akan membuat negara-negara yang berhubungan dengan Jepang juga terkena dampaknya.

Ia menambahkan belajar dari depresi besar (the great depression) pada 1930-an, respon masing-masing negara pada saat itu adalah proteksionisme, dan ini justru membuat negara semakin terpuruk.
(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009