Jakarta (ANTARA News) - Peneliti Museum Nasional Sejarah Alam Smithsonian Institution Washington Amerika, Nancy Knowlton, menyatakan bahwa potensi penyerapan karbon (carbon sink) oleh laut memang besar, tetapi hal tersebut dapat mengakibatkan rusaknya kehidupan biota laut.

"Laut memang menyimpan potensi penyerapan karbon besar, tetapi dampaknya bisa mengakibatkan kadar air laut menjadi asam (asidifikasi) yang bisa menyebabkan kerusakan biota laut," kata Nancy yang datang ke Indonesia sebagai salah satu peneliti dari Amerika Serikat pada Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado.

Dalam diskusi tentang keanekaragaman terumbu karang di Komunitas Utan Kayu, Jakarta, Kamis, Nancy menjelakan, kerusakan biota laut karena tingginya kadar asam laut di antaranya adalah pemutihan karang (bleaching), osteoporosis terumbu karang dan sedimentasi.

Nancy mengatakan kerusakan terumbu karang memang telah berlangsung sejak lama, misalnya sekitar 80 persen terumbu karang di Karibia telah hilang selama 30 tahun sejak 1977.

Dia juga menyebutkan terumbu karang di Indonesia Timur dan Papua Nugini tinggal 68 persen, sedangkan kawasan Indonesia Barat tinggal 29 persen.

Kerusakan pada terumbu karang, katanya, bisa merusak simbiosis antara terumbu karang dan alga simbiotik yang terjadi karena suhu air laut meningkat dan kadar mineral tinggi (eutropic).

Ia menjelaskan, kematian massal biota laut juga bisa terjadi apabila suhu air laut meningkat secara mendadak atau meningkat sampai diatas suhu yang bisa ditoleransi oleh biot laut.

Peningkatan suhu laut juga mengikuti peningkatan kadar karbondioksida yaitu bila suhu meningkat satu derajat maka kadar CO2 mencapai 375 ppm (part per milion), bila naik dua derajat, kadar CO2 bisa menjadi 450 - 500 ppm, dan bila naik tiga derajat maka kadar CO2 juga naik menjadi di atas 500 ppm.

Usaha konservasi terhadap biota laut termasuk terumbu karang, katanya, bisa berhasil dilakukan apabila memang terkait langsung dengan ekonomi masyarakat di daerah tersebut.

Misalnya dia mencontohkan di Negara Palau, konservasi terumbu karang bisa berhasil karena masyarakat mengandalkan wisata bahari seperti menyelam pada terumbu karang di daerah tersebut.

Nancy juga menyebutkan bahwa nilai ekonomis terumbu karang di dunia seperti dari makanan, perikanan, keanekaragaman dan wisata bahari secara global mencapai 29,8 miliar dolar AS per tahunnya.

Sedangkan di Hawai, nilai ekonomis terumbu karang bisa mencapai mencapai 361 juta dolar AS untuk non ekstraktif dan 3 juta dolar AS untuk perikanan pesisir.

"Sedangkan di Indonesia bisa mencapai 1,6 miliar dolar AS per tahunnya," tambah Nancy.
(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009