Jakarta (ANTARA New) - Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mengusulkan Pemilu Khusus bagi warga negara yang kehilangan hak pilihnya saat Pemilu Legislatif 9 April lalu yang waktunya diselenggarakan bersamaan dengan Pilpres 8 Juli.

Rekomendasi Komnas HAM ini didasarkan pada temuan lapangan di mana sekitar 49,5 juta jiwa pemilih tidak dapat menggunakan hak pilih merekanya dengan berbagai alasan, kata Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh kepada wartawan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin.

Beberapa temuan tersebut meliputi carut-marutnya sistem penyelenggaraan Pemilu sehingga hak pilih warga hilang begitu saja, Daftar Pemilih Tetap (DPT) hanya dilihat sebagai prasyarat administrasi dan bukan sebagai esensi hak sipil politik warga.

Selanjutnya, tidak ada kebijakan khusus sistem anggaran (APBN) untuk menggelar Pemilu, ketidakmampuan KPU Pusat, sentralisasi kewenangan KPU Pusat, kelemahan organisasional eksekusi dan lemahnya perangkat pengawasan Pemilu.

"Dari hasil temuan lapangan terbukti bahwa penghilangan hak konstitusi secara masif dimana 20-40 persen rakyat tidak dapat memilih karena kesalahan pengolahan sistem Pemilu mulai dari DP4, DPS, DPT dan lainnya," kata Ridha.

Menurut Ridha, carut-marutnya pelaksanaan Pemilu 9 April lalu tidak serta-merta menjadi tanggung jawab tunggal KPU, tetapi juga pemerintah.

"Ini tanggung jawab Presiden. Jadi, Presiden harus meminta maaf kepada seluruh rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban moral beliau sesuai UU No 39/1999," tegas Ridha.

Untuk itu, Presiden, demikian Ridha, mesti membentuk Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pemilu Khusus bagi warga yang kehilangan hak konstitusinya.

Ridha juga meminta DPR untuk memaksa KPU meminta maaf atas amburadulnya pelaksanaan Pemilu .

"Silahkan DPR mengambil langkah untuk memberi tindakan tegas kepada KPU," katanya.

Pandangan serupa dikemukakan Ketua Komisi Advokasi Suara Rakyat, Adi Masardi yang menilai kinerja KPU Pusat pimpinan Hafiz Ansyari ini jauh lebih buruk dari KPU 2004 pimpinan Nazaruddin.

"Yang sekarang lebih jahat dari sebelumnya karena merusak sistem," kecam mantan Jubir Presiden di era Abdurachman Wahid itu. (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009