Jakarta (ANTARA News) - Calon Presiden (Capres) harus mampu membuat "rencana aksi ke luar" (exit plan) terutama yang berkaitan dengan utang luar negeri yang terus membengkak dan mencari solusi untuk melepas ketergantungan terhadap impor energi.

"Perlu dibuat exit plan terhadap masalah krusial bangsa yang sudah menjadi lingkaran setan selama sepuluh tahun reformasi," kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Effendi Siradjuddin di Jakarta, Minggu.

Menurut Dewan Pendiri Entrepreneurial States (EnState) 2020, siapapun presiden yang terpilih dalam Pilpres 2009, harus segera melakukan lima langkah exit plan. Dimulai dengan exit plan pertama, yakni keluar dari utang negara (utang pemerintah dan swasta).

Utang negara itu kini sudah mencapai "lampu merah", yakni hampir 50 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menggerogoti 40 persen APBN untuk membayar utang atau sekitar Rp200-Rp300 triliun per tahun, yang harus segera dihentikan.

Exit plan kedua, terhadap ketergantungan impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) sebesar 800 ribu barel per hari (70 persen dari total kebutuhan nasional sebesar 1,3 juta barel/hari).

Selain itu bagaimana mengatasi soal penambahan sepeda motor 5 juta unit per tahun serta 500 ribu unit mobil per tahun, yang akan menambah konsumsi BBM 100 ribu barel/hari atau dalam lima tahun penambahan 500 ribu barel/hari dari kebutuhan sekarang yang sudah mencapai 900 ribu barel per hari. "Kesemuanya itu berpotensi membangkrutkan negara," ujar Effendi.

Rencana aksi ketiga yang terkait dengan penghentian budaya boros energi di semua sektor kehidupan yang sudah berlangsung hampir 40 tahun. Exit plan keempat, menghentikan perlakuan obyek pembangunan bagi hampir 200 juta rakyat dengan pendapatan di bawah 2 dolar AS per hari, bukan sebagai subyek pembangunan atau pembangunan berbasis rakyat.

Sementara rencana aksi ke luar kelima, membuat dan melaksanakan blueprint Transformasi Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah. Strateginya adalah melakukan loncatan besar yang mampu menggerakkan seluruh kekuatan dan kekayaan nasional yang mendapat dukungan penuh rakyat.

Cetak biru Transformasi Pembangunan juga diperlukan untuk keluar dari "lingkaran setan" ketidakberdayaan negara terhadap tarik menarik kepentingan golongan, sekaligus menghentikan dominasi asing yang merugikan rakyat.

Sebagai langkah lanjut, kata Effendi Siradjuddin, pemerintah juga perlu membuat exit plan sektoral. "Exit plan ini harus dilakukan untuk memenuhi apa yang rakyat inginkan atau butuhkan, bukan yang pemerintah inginkan," tegas Effendi.

Konkretnya, pemerintahan yang terpilih dalam Pilpres 2009 harus melengkapi program sektoralnya dengan merekrut menteri-menteri yang terbaik dengan rekam jejak yang jelas, serta ikut ditampilkan dalam debat publik.

Untuk membahas berbagai permasalahan krusial di atas, EnState 2020 menyelenggarakan kegiatan bedah buku dan diskusi menyambut Hari Kebangkitan Nasional ke-101, berjudul "Memerangi Sindrom Negara Gagal", Transformasi Indonesia Mencapai Negara Entrepreneurial Maju Tahun 2020, karya Effendi Siradjuddin.

Bedah buku dilaksanakan 20 Mei 2009, di gedung University Club (UC), kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bertindak sebagai pembicara antara lain mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof DR Ahmad Syafii Ma`arif, Walikota Yogyakarta Hery Zudianto, pakar hukum bisnis internasional UGM, Prof Dr Nindyo Pramono dan Direktur STMIK AMIKOM Yogyakarta Prof Dr M Suyanto.

Buku "Memerangi Sindrom Negara Gagal" antara lain menyajikan pelajaran keberhasilan dan kegagalan pengelolaan negara dari beragai sektor dan dari berbagai negara. Juga dipertanyakan, apakah dengan sistem rekrutmen politik seperti sekarang Indonesia mampu menghasilkan pemerintahan (eksekutif dan legislatif) yang dapat menjawab tantangan krusial di atas, atau bahkan mengarah menjadi negara gagal.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009