Yogyakarta (ANTARA News) - Pemilu 2009 telah mempopulerkan budaya politik populis, di mana popularitas seorang kandidat dipoles melalui iklan politik.

"Itulah `the art of politics`, yaitu politik pencitraan yang kini menjadi tren perpolitikan kita, dan tampaknya laku dijual," kata pengasuh Komunitas Budaya Yogya Semesta Hari Dendi di Yogyakarta, Selasa.

Di Amerika Serikat, katanya pada dialog budaya "politik pencitraan, tinjauan budaya", yang menjadi kiblat banyak politisi muda, citra politisi sengaja di-"make up" oleh lembaga-lembaga "public relations", sehingga terkadang bisa lebih besar dan lebih indah dari sosok aslinya.

Ia mengatakan, dalam budaya politik populis yang berlaku adalah hukum pasar, di mana barang yang akan dijual harus dikemas agar menarik pembeli. Setuju atau tidak dengan mekanisme liberal tersebut, realitas semacam itulah yang marak dalam arena kampanye Pemilu 2009.

"Tak disangsikan, uang pasti berbicara banyak, juga tak mengherankan berbagai media massa, lembaga jajak pendapat, bahkan pembuat stiker dan bendera saling berebut klien pada Pemilu 2009," katanya.

Menurut dia, dalam politik pencitraan, peran media massa sangat penting karena pemilu adalah masalah menang-kalah dalam pencitraan kandidat. Selain cermin realitas, citra adalah juga "panggung depan" seseorang, sisi kehidupan yang tampak, atau lebih tepatnya sengaja ditampakkan.

"Sebagai `panggung depan`, yang ditampakkan adalah aspek-aspek kehidupan yang `baik-baik` saja. Citra bisa juga menumpang pada ideologi tertentu, misalnya pro ekonomi kerakyatan dan menolak paham neoliberalisme," katanya.

Pekerjaan membingkai realitas itu hanya efektif dilakukan oleh media massa yang memiliki fungsi melipatgandakan pesan. Dalam masa kampanye, bahkan sebelumnya, para calon tentu akan melakukan berbagai kegiatan untuk meningkatkan popularitasnya.

"Caranya dengan `menciptakan` peristiwa dan membingkainya sedemikian rupa untuk membangun citra, yang diharapkan akan diberitakan media massa," katanya.

Namun demikian, menurut dia, media massa memiliki kriteria dan kaidah-kaidah jurnalisme sebagai pegangan dalam membingkai peristiwa. Bingkai media massa dan bingkai para calon bisa saja sama, tetapi bisa pula berbeda.

"Media massa tentu tahu apakah sebuah peristiwa bernilai sebagai berita, atau sekadar `peristiwa buatan` untuk menaikkan citra calon. Bernilai sebagai berita berarti bernilai bagi publik," katanya.

Dalam situasi banyakterjadinya "peristiwa buatan" dalam rangka membangun citra, tugas media massa adalah mengungkapkan kebenaran fakta. Media massa harus mencari fakta, baik fakta sebenarnya maupun kebenaran di balik fakta.

"Dengan demikian, media massa bisa memandu publik dalam upaya menemukan `kebenaran` tentang siapa yang paling layak untuk dipilih," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009