Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR Abdul Hadi Djamal akan berstatus terdakwa dalam waktu dekat. Berkas perkara mantan politisi Partai Amanat Nasional itu dinyatakan lengkap dan segera dilimpahkan ke pengadilan.

Abdul Hadi ditetapkan sebagai tersangka setelah tertangkap petugas KPK bersama pegawai Departemen Perhubungan Darmawati Dareho dan Direktur PT Kurniajaya Wirabakti Hontjo Kurniawan.

Darmawati diduga memberikan uang kepada anggota Abdul Hadi Djamal, sementara sumber uang berasal dari Hontjo Kurniawan.

Saat itu, KPK menemukan uang sebesar Rp54,5 juta dan 90 ribu dolar AS yang diduga merupakan uang suap untuk proyek pembangunan dermaga di Indonesia bagian timur.

Abdul Hadi mengklaim, penangkapannya adalah bertemali dengan rangkaian keputusan DPR untuk menaikkan salah satu komponen dana stimulus dari Rp10,2 triliun menjadi 12,2 triliun yang telah diputuskan Panitia Anggaran DPR.

Di hadapan penyidik KPK, Abdul Hadi membeberkan segala yang diketahuinya. Pengakuannya memberi gambaran bahwa kasus yang menimpanya bukan semata suap, tapi juga bentuk persekongkolan sistematis para wakil rakyat di Senayan.

Abdul hadi menuding rekan-rekannya di DPR membagi-bagikan jatah berkaitan dengan kenaikan anggaran stimulus fiskal 2009.

Cerita tentang stimulus fiskal berawal dari krisis yang mendera Indonesia sebagai dampak lanjutan dari krisis global yang bersumber di negeri Paman Sam. Stimulus fiskal adalah program untuk mengatasi dampak krisis tersebut di dalam negeri.

Total stimulus fiskal pada APBN 2009 mencapai Rp71,3 triliun yang dialokasikan untuk menghemat pembayaran pajak (tax saving) sebesar Rp43 triliun dan berbagai subsidi pajak serta bea masuk tanggungan pemerintah (PPNDTP dan BMDTP), masing-masing untuk eksplorasi migas Rp3,5 triliun, BMDTP bahan baku dan barang modal Rp2,5 triliun, PPh karyawan Rp6,5 triliun, dan PPh panas bumi Rp0,8 triliun.

Di luar itu, stimulus dikucurkan sebagai subsidi dan belanja dunia usaha dan pencipataan lapangan kerja, yang terdiri dari penurunan harga solar (subsidi solar) Rp2,8 triliun, diskon beban puncak listrik industri Rp1,4 triliun, tambahan belanja infrastruktur Rp10 triliun, dan perluasan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) sebesar Rp0,6 triliun.

Dari sekian banyak komponen stimulus fiskal, tambahan belanja infrastruktur adalah awal dugaan suap yang menjerat Abdul Hadi Djamal dan kemungkinan melibatkan pula anggota DPR lainnya.

Bola panas

Panitia Anggaran DPR pada akhirnya menaikkan anggaran salah satu komponen dana stimulus dari sekitar Rp10 triliun menjadi Rp12 triliun. Berdasarkan angka itu, klaim Abdul Hadi Djamal, pimpinan dan anggota panitia anggaran mendapat jatah yang berbeda.

Patut pula diduga bahwa jatah tersebut diberikan sebagai balas jasa Panitia Anggaran karena telah menambah porsi dana stimulus.

Abdul lalu membeberkan, ketua panitia anggaran mendapat jatah Rp200 miliar, pimpinan panitia anggaran Rp150 miliar, sedangkan anggotanya memperoleh Rp50 miliar.

Abdul juga menyebut anggota biasa mendapat jatah Rp20 miliar dan "ketua besar" mendapat Rp100 miliar. Sayang, mantan politisi PAN itu tidak merinci besaran hak aspirasi yang sesungguhnya diterima anggota DPR. Dia juga tidak menjelaskan apakah wakil-wakil rakyat itu menerima jatah hak aspirasi itu dalam bentuk uang ataukah proyek pengadaan infrastruktur.

Kepada wartawan, Abdul Hadi menyatakan anggota DPR sekaligus Wakil Ketua Panitia Anggaran, Jhonny Allen Marbun, berperan dalam penentuan besaran dana hak aspirasi itu.

"Saya kira, nanti Jhonny Allen tidak usah lagi berkelit-kelit, kooperatif saja," kata Abdul Hadi ketika ditemui di gedung KPK.

Abdul tidak berbual karena dialah yang menyerahkan uang sebesar Rp1 miliar langsung kepada Jhonny. Uang itu sendiri berasal dari pengusaha Hontjo Kurniawan yang berkepentingan dengan proyek kelolaan Departemen Perhubungan yang biayanya berasal dari dana stimulus itu.

Aliran uang ke saku Jhonny Allen itu berawal dari perkenalannya dengan Direktur PT Kurniajaya Wirabakti Hontjo Kurniawan. Keduanya telah saling kenal berkat jasa Abdul Hadi Djamal dan pegawai Departemen Perhubungan Darmawati Dareho.

Menurut Abdul, mereka telah mengadakan pertemuan di Hotel Aston, Jakarta, awal 2009.

Saat itu, ungkap Abdul, Jhonny terang-terangan mengutarakan bahwa dia memiliki hak aspirasi karena telah meloloskan kenaikan anggaran program stimulus fiskal. Bahkan, politisi Partai Demokrat ini blak-blakan mengaku sedang membutuhkan dana untuk keperluan partai.

"Gue ini pemilu, ini ngga ada yang bantu," kata Jhonny seperti ditirukan Abdul.

Gayung pun bersambut. Dalam pertemuan itu, Hontjo menyampaikan keinginannya supaya bisa dibantu untuk menjadi rekanan dalam proyek di Departemen Perhubungan sambil mengimingi keduanya dengan uang sebesar Rp3 miliar.

Kesepakatanpun akhirnya tercapai. Abdul lalu menjadi perantara aliran uang dari Hontjo kepada Jhonny Allen. Abdul mengaku telah menyerahkan Rp1 miliar kepada Jhonny Allen yang diserahkan kepada Resco, asisten Jhonny.

Belum ada satu pun keterangan keluar dari mulut Resco karena sang saksi kunci dalam dugaan keterlibatan Jhonny Allen Marbun itu belum memenuhi panggilan KPK. Abdul Hadi bahkan tidak mengetahui dimana Resco kini berada.

Jhonny Allen sendiri lebih banyak bungkam ketika ditanyai kasus ini. Dia sudah beberapa kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus Abdul Hadi, namun bersikukuh mengaku tidak mengetahui aliran uang yang dibeberkan Abdul.

Abdul Hadi Djamal agaknya telah menggelindingkan bola panas yang bisa menerjang siapapun yang diduga terlibat. Dan kasus dugaan suap itu pun bergulir. (*)

Oleh Oleh F.X. Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009