Jakarta, 7/6 (ANTARA) - Cindy, seorang pelukis jalanan di Kota Tua, Jakarta Barat, mengaku terpaksa menekuni profesi sebagai pelukis demi untuk menyambung hidup.

"Tidak ada pekerjaan lain yang bisa saya lakukan, sehingga terpaksa saya jadi pelukis," ungkap Cindy di Jakarta, Minggu.

Bakat melukis yang dia miliki sejak kecil, baru tersalurkan pada 1998. Cindy sebelumnya bekerja pada sebuah perusahaan kayu di Kalimantan Tengah, namun akhirnya di- PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena perusahaan bangkrut.

"Saya kemudian pergi ke Jakarta dengan harapan mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan. Namun, karena tidak memiliki keahlian dan hanya mengantongi ijasah SMA, terpaksa saya mencoba bergabung dengan beberapa pelukis di Stasiun Kota," katanya.

"Padahal, tak pernah terlintas dalam benak saya kalau saya harus menjadi pelukis seperti sekarang," ujar Cindy.

Profesi sebagai pelukis kata dia, tak jauh beda dengan profesi menjual jasa lainnya.

Hanya saja kata pria kelahiran Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan itu, seorang pelukis harus pandai menyimpan uang sebab tidak setiap hari menerima order.

"Belum tentu sehari kami bisa menerima pesanan lukisan. Bahkan, kalau apes dalam seminggu kadang kami tidak dapat orderan," ujar Cindy.

Namun, satu order lukisan bisa digunakan untuk kebutuhan selama sepekan, katanya.

Untuk sebuah lukisan hitam putih, Cindy memasang tarif Rp100 ribu sementara lukisan warna Rp150 ribu. Lukisan terbesar yang pernah ia dibuat adalah berukuruan satu setengah meter dengan harga Rp1,5 juta.

"Jadi, kami harus pandai-pandai mengelola keuangan. Jika menerima pesanan lukisan, uangnya tidak langsung dibelanjakan tetapi harus disimpan sebagai persiapan kebutuhan sehari-hari dan untuk keluarga," ujar Cindy yang tergabung dalam Komunitas Trotoar.

Lebih 20 pelukis yang berasal dari berbagai daerah di Indoesia kata dia telah menempati emperan toko di Jalan Pintu Besar Selatan, Stasiun Kota, Jakarta Barat selama lebih 10 tahun.

"Kami sudah menempati kawasan Jalan Pintu Besar Selatan, Stasiun Kota lebih 10 tahun kemudian membentuk komunitas pelukis yang kami beri nama Komunitas Trotoar," ungkapnya.

Ia berharap, pemerintah memperhatikan nasib para pelukis Trotoar.

"Kami merupakan bagian dari kawasan Wisata di Kota Tua dan berharap pemerintah membeikan perhatian khusu pada keberadaan kami," harap Cindy.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009