Jakarta (ANTARA News) - Pemakaian bahasa pers Indonesia sering berkutat pada persoalan hasrat untuk secara ekstrem membenahi atau membiarkan salah kaprah berbahasa di masyarakat.

Dua kutub ekstrem itulah yang justru disarankan untuk dihindari, dengan cara menampik kecenderungan berlaku sangat kaku (preskriptif) terhadap penerapan kaidah bahasa atau bersikap terlalu menenggang semua salah kaprah berbahasa masyarakat (deskriptif).

"Bahasa pers sebaiknya ugahari, moderat, dan tidak secara ekstrem preskriptif atau deskriptif," kata pengamat bahasa pers Liek Wilardjo ketika berbicara dalam Konvensi III Forum Bahasa Media Massa (FBMM), pekan lalu.

Dengan bersikap moderat seperti itu, Liek yang juga guru besar fisika itu berharap bahasa pers dapat mengakomodasi esensi linguistik bahwa bahasa adalah sistem sewenang-wenang yang terjadi karena kesepakatan penutur bahasa. Karena itulah, tak semua yang dituturkan masyarakat harus selaras dengan kaidah logika.

Beberapa frasa yang terasa tak memenuhi logika, antar lain, frasa seperti "menggali lubang", "menanak nasi", "menewaskan jiwa".

Jika esensi bahasa itu dinafikan, penganut preskriptif ekstrem akan berargumen: "yang betul membuat lubang bukan menggali lubang", "yang betul menanak beras bukan nasi", "yang bernalar menewaskan orang bukan jiwa karena jiwa tak bisa ditewaskan".

Sebaliknya, membiarkan begitu saja semua kebiasaan berbahasa yang tak benar bukanlah sikap yang ugahari. Pemaknaan atas kata "konsumerisme" yang mestinya bernada positif terlanjur diberi arti negatif.

Kata "acuh" yang bermakna "mengindahkan" sering diartikan sebaliknya, yakni "mengabaikan". Begitu juga "geming" yang mestinya bermakna "tetap" malah sering diberi makna "bergerak". Upaya pers untuk membetulkan salah kaprah ini agaknya mulai diterima sebagian penutur bahasa Indonesia.

Persoalan genting lain dalam bahasa pers Indonesia adalah masih adanya ketidakseragaman penulisan atau ejaan dalam kata. FBMM dibentuk antara lain untuk mengupayakan penyeragaman ejaan. Tapi sampai saat ini upaya itu belum menunjukkan hasil memuaskan.

Pengamat bahasa Liek Wilardjo mengatakan, bahasa media massa harus merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) IV. Setidaknya ini bisa menolong untuk menyeragamkan penulisan kata.

"Saya senang jika media massa menggunakan KBBI sebagai rujukan," katanya.

Tapi upaya penyeragaman melalui satu rujukan ini belum diikuti semua media massa.

Masyarakat Bingung

Ketua FBMM TD Asmadi mengatakan, sampai saat ini masyarakat masih bingung atas penggunaan bahasa yang oleh media massa disampaikan tanpa keseragaman.

"`Kompas` meluluhkan `k`,`p`, `s`, `t` antara lain dengan mengeja kata `memerhatikan`, `mengampanyekan` sementara `Tempo` meluluhkan sebagian dan tetap menulis `memperhatikan`, `mengkampanyekan`. FBMM perlu mengusahakan agar media massa di Indonesia bisa menyeragamkan perbedaan ini," katanya.

Impian Asmadi untuk mencapai bahasa pers Indonesia yang standar dalam ejaan agaknya tak mudah terwujud.

Dari segi ketaatan pada KBBI, baik "Kompas" maupun "Tempo" setali tiga uang. Keduanya tak seia sekata dengan yang dianjurkan KBBI.

"Kompas" tetap pada pendiriannya untuk menulis "shalat", "Ramadhan"," dan "China" alih-alih mengikuti ejaan yang disarankan KBBI, yakni "salat", "Ramadan" dan "Cina".

Yang tak diikuti "Tempo" dari KBBI antara lain peluluhan pada "perkosa", "pesona", "percaya", yang oleh KBBI disarankan untuk luluh ketika mendapat awalan "me".

Tuntutan efisiensi kata dan kalimat dalam bahasa media massa tanpa menghilangkan makna yang utuh juga dikemukakan kembali oleh Liek Wilardjo.

Dia mengatakan, bahasa media yang dituntut untuk ringkas, tetaplah harus mempertahankan maknanya yang utuh. "Makna kata tak boleh ada yang hilang untuk mengejar aspek keringkasan dalam bahasa pers," katanya.

Guru Besar Emeritus Universitas Satyawacana Salatiga itu memberikan contoh masih adanya kebiasaan pers yang meringkas kata tapi menghilangkan keutuhan maknanya.

"Pemakaian kata `sesuai` yang dilepaskan dari kata `dengan` dalam kalimat merupakan contoh yang keliru," katanya.

Menghilangkan akhiran dan kata tugas "dengan" pada penggunaan kata "dibanding" juga sering dilakukan para wartawan dan editor. Ini jelas menyalahi keutuhan makna frasa "dibandingkan dengan" dalam sebuah kalimat di media massa.

Dengan demikian, kata Liek yang pernah menjadi anggota Komisi Istilah Bahasa Indonesia untuk bidang fisika itu, tak semua ikhtiar peringkasan kata bisa diterima oleh kaidah bahasa. (*)

Oleh Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009