Singapura (ANTARA News) - PT Sigmantara Alfindo menyatakan sudah tidak tertarik lagi membangun bisnis supermarket dan hipermarket di Indonesia karena beratnya persaingan dengan peritel modern asing yang masuk ke Indonesia.

"(Sigmantara Alfindo) tidak mau lagi membangun bisnis supermarket atau hipermarket. Persaingan berat apalagi pada tahun depan," kata Presiden Komisaris PT Sigmantara Alfindo Djojo Susanto selagi berkunjung ke Singapura, Rabu.

Djoko mengatakan persaingan supermarket dan hipermarket menjadi semakin berat karena banyaknya peritel modal asing yang masuk ke Indonesia setelah makin terincinya kesepakatan perdagangan bebas sampai ke tingkat antarnegara sehingga pemerintah tidak mampu lagi membendung kehadiran ritel bermodal asing 100 persen.

"Kalau saya berniat mendirikan lagi, kenapa saya harus jual Alfa ke Carrefour? Meski Alfa mampu masuk dalam 10 peringkat teratas ritel modern beromset terbesar di Indonesia, namun keuntungan yang kami raih tidak mendukung. Masih untung waktu saya jual harganya tinggi," tanya Djoko.

PT Sigmantara Alfindo sebagai peritel lokal sendiri mempunyai pengalaman bersaing dengan peritel asing yang mengakibatkan harus menjual 75 persen sahamnya kepada PT Carrefour Indonesia awal 2008 lalu.

Carrefour kemudian mengganti nama 34 gerai supermarket dan hipermarket bermerk Alfa menjadi Carrefour Express dan Carrefour pada akhir 2008.

Minimarket saja

Sebaliknya Sigmantara akan fokus menggarap minimarket Alfamart melalui kepemilikan saham sekitar 54 persen di PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk yang kini mengoperasikan lebih dari 3.000 gerai di Jawa dan Lampung.

Djoko optimistis sukses berbisnis di sektor ritel terkecil karena pemerintah melindungi sektor ini dengan melarang kepemilikan asing dalam daftar negatif investasi (DNI).

Pemerintah hanya mengijinkan modal 100 persen asing untuk membuka gerai modern dengan luas di atas 400 meter persegi.

Djoko mengatakan, peritel lokal tidak akan mampu bersaing dengan pengusaha eceran yang bertaraf internasiona karena berlaku sejumlah kesepakatan dagang antara perusahaan internasional dengan ritel modern asing.

Sebagian besar produk internasional terutama produk kebutuhan sehari-hari seperti selama ini diketahui menjadi produk yang laris dan menyumbang 10 terbesar terhadap total omzet yang dicapai toko modern.

"Produk internasional bisa memberikan diskon yang lebih besar kepada ritel asing karena ada jaringan global. Contoh jika dijual oleh peritel asing diberi diskon 5 persen sedangkan oleh peritel lokal hanya diberi diskon 2 persen," kata Djoko.

Pasokan besar karena menyangkut banyak negara juga menyebabkan industri bertaraf internasional berhati-hati ketika melakukan negosiasi dagang dengan ritel multinasional, demikian Djoko. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009