Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa konflik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti Poso, Papua, dan Aceh, terjadi karena kurangnya rasa keadilan dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

"Konflik di beberapa daerah, bukan disebabkan masalah agama maupun etnis, tetapi karena tidak ada keadilan antara daerah dan pusat," kata Jusuf Kalla dalam acara forum dialog perdamaian dengan tema "Membangun Perdamaian Nusantara Untuk Kemajuan Indonesia Mandiri" di Jakarta, Selasa.

Hadir dalam acara tersebut antara lain penulis buku "Damai di Poso" DR Hasrullah, mantan koordinator Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Syaid Mustafa, Mantan Kapolda Aceh dan Kalimantan Barat Chairul Rasjid, serta intelektual Papua Moksen Sirfefa.

Dengan demikian, kata Jusuf Kalla yang juga calon presiden itu, salah satu faktor penting agar Aceh dan beberapa provinsi lainnya tetap damai adalah dengan tetap menjaga rasa keadilan dan kesejahteraan di masing-masing daerah.

Pernyataannya itu, kata dia, didasarkan pada pengalaman-pengalaman dalam upaya penyelesaian konflik menuju perdamaian yang ia lakukan sejak menjabat sebagai Menko Kesra saat pemerintahan Megawati hingga menjabat wakil presiden.

Hal pertama yang dilakukannya sebelum melakukan perundingan, kata Wapres, adalah mengetahui secara pasti persoalan yang dihadapi masyarakat, dengan mendatangi langsung daerah konflik, sehingga bisa memastikan langkah yang akan diambil.

Menurut Kalla, pada 2002, saat masih menjadi Menko Kesra, terdapat sekitar 2 juta pengungsi Indonesia dari beberapa daerah seperti Poso, Ambon, Aceh, Kalimantan dan Timor-Timur, yang merupakan jumlah pengungsi terbesar di dunia.

Tidak sedikit anak-anak, ibu-ibu dan orangtua tidak mendapatkan kehidupan secara layak, dan itu sangat menyedihkan. "Waktu itu saya berpikir, tidak mungkin masalah pengungsi ini bisa diselesaikan tanpa ada perdamaian," kata dia.

Karena persoalannya tidak ada perdamaian, maka penyelesaiannya adalah penghentian konflik melalui beberapa perundingan. "Jadi sebagai Menko Kesra, saya hanya ingin menyelesaikan masalah pengungsi, tapi itu tidak mungkin tanpa ada perdamaian," kata dia.

Dengan demikian, tambahnya, kendati waktu itu dia bukan Menko Polkam, namun harus memberanikan diri untuk menyelesaikan masalah konflik bersama beberapa pejabat dan petinggi-petinggi kelompok yang berkonflik sehingga perdamaian itu tercapai.

"Waktu itu, saya bertemu dengan orang Kristen dan Islam yang sedang dalam kondisi marah, mata dan mukanya terlihat merah. Tapi saya tidak takut dan dengan tegas saya minta agar mereka memilih perdamaian atau perang," kata dia.

Ada tiga opsi yang ditawarkan kepada warga atau pemimpin daerah konflik waktu itu yaitu, peluru, senjata atau bicara. Kalau peluru dan senjata maka seluruh warga Aceh dan daerah lainnya akan mati, kalau bicara maka warga bisa hidup seribu tahun lagi.

Ternyata, kata Wapres, mereka memilih bicara dan hasilnya perdamaian itu tercapai kendati belum sepenuhnya, karena harus ada tindak-tindak lanjut lainnya.  (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009