Jakarta,(ANTARA News) - Menang kontroversial 4-3 atas Mesir, punggawa Selecao sontak menuai kritik dan menerima cibiran. Tiba-tiba...naluri Samba menghentak kemudian menekan urat syaraf para pecinta bola, utamanya kawula muda.

Hasilnya, Brasil menekuk juara dunia Italia 3-0 di ajang Piala Konfederasi 2009. Pesannya: jangan pernah menyerah bahkan memasrahkan diri kepada suasana hati.

Dua kemenangan, dua laga perjuangan, dua-duanya berwarna. Skuad asuhan Carlos Dunga melenggang ke semifinal dan akan menghadapi tuan rumah Afrika Selatan di Ellis Park, Johannesburg (25/6).

Tiga gol tanpa balas di jala Azzurri pada babak pertama menggoda para pengamat bola untuk menyimpulkan bahwa Italia telah menelan pil pahit. Ujung-ujungnya arsitek Marcello Lippi uring-uringan. "Kalian (pers) selalu bicara 'kocok, kocok dan kocok' tim," katanya dengan nada ketus.

"Permainan kami masih terus meningkat. Kami punya punya sejumlah pemain dengan teknik tinggi. Kerjasama tim terus menunjukkan sinyal positif," katanya. Ini resep Dunga yang menggoda khalayak agar mempercayai sinyal positif kata hati. Tiga kata kunci sepakbola Samba yakni bergerak, bergerak dan bergerak. Buahnya, tujuh gol bersarang di jala lawan. Jempolan!

Selecao pernah divonis sebagai tim yang bermain indah, kurang produktif alias mandul. Kini, goyang dan gemulai skuad Samba memprovokasi publik agar mempercayai tiga kata, yakni perubahan, perubahan dan perubahan. Siapa yang menggenggam status quo akan terlibas dan tergilas lokomotif sejarah. Kali ini korbannya, Italia, selanjutnya, Bafana Bafana?

Saya datang, saya melihat, saya menang (Veni, Vidi, Vici). Ini tiga mantra Samba untuk melabrak lawan. "Kami punya kepercayaan diri penuh," kata striker Luis Fabiano. Untuk itu, Afsel di bawah arsitek Joel Santana perlu ekstra waspada dengan langgam teror dari lini sayap. Baik Dunga (45 tahun) maupun Santana (60 tahun) sama-sama berasal dari Brasil, meski berbeda usia. Keduanya paham betul pakem Samba.

Belum-belum gelandang tim tuan rumah membentangkan layar optimistis. "Kami sedang menyiapkan diri dengan Piala Dunia. Ini kesempatan baik. Kami harus mengambil kesempatan ini," kata Steven Pienaar kepada Reuters.

Ketika Brasil menekan, Afsel perlu memompakan kesabaran dan keteguhan hati. Saatnya akan tiba jadi kredo pasukan asuhan Santana. Praktisnya, memanfaatkan serangan balik dengan memanfaatkan kelengahan barisan pertahanan Brasil.

Dunga perlu belajar dari Lippi. Setelah kalah, pelatih gaek negeri Bambino itu menerima kritik bertubi-tubi dari pers setempat. "Lippi harus kembali ke Afrika Selatan dengan perombakan tim. Waktunya membangun tim dengan memanggil sejumlah pemain muda untuk mempertahanan gelar juara," tulis harian La Gazzetta dello Sport.

Yang perlu dilakukan Dunga, menurunkan pemain yang piawai mendribel bola untuk merangsek lini pertahanan Afsel. Karena itu diperlukan suntikan darah muda. Karena itu, Samba tengah melawan diri sendiri. Yang terberat dari laga semifinal ini, bukan meghadapi lawan, tetapi melawan diri sendiri.

"Sulit menjejak perasaan ketika menghadapi laga semifinal ini," kata gelandang Benson Mhlongo. "Yang positif, kami akan tampil tanpa beban melawan Brasil. Kami ingin membuktikan bahwa kami mampu berbuat sesuatu kepada negeri ini," katanya pula.

Optimisme senada dikemukakan gelandang MacBeth Sibaya. "Saya harus meyakinkan diri bahwa tim ini akan lolos ke babak final," katanya. Aroma kemenangan merebak di Bafana Bafana. Media massa setempat melansir predikat baru yakni pasukan yang mengusung cinta dan air mata.

Uups...jangan dulu optimistis. Di seberang sana, Dunga makin mendalami filsofi sepak bola Samba yang sarat aura revolusi diri. Era 1960 dan 1970-an, Eropa relatif sulit terbendung. Puncaknya pada 1974, dengan Belanda yang mendemontrasikan "total football".

De facto, Brasil mampu membuat dunia terperangah. Ada Mutiara Hitam Pele. Samba mengusung merk "muda, kuat dan handal dalam operan-operan menawan". Sekali lagi, dunia terpesona.

Kolumnis Tim Vickery di situs BBC menunjuk kekuatan Samba kepada bola-bola mati dan tendangan sudut. Brasil juga punya kelebihan dalam memainkan irama laga, utamanya di lini tengah.

Yang menggoda dari laga Bafana Bafana versus Samba, yakni pertarungan di lini tengah. Pekerjaan Rumah bagi kedua pelatih, memperkokoh lini pertahanan. Yang positif, Dunga terus melakukannya, seperti terlihat ketika menghadapi Italia.

Brasil tampil berotot dengan kehadiran sosok Maicon. Gelandang serang Ronaldinho bakal membuat repot lini pertahanan Afsel. Ada juga Elano, meski penampilan Kleber dan Andre Santos belum kinclong benar.

Yang terus bersinar justru penampilan Kaka. Publik makin paham dengan gaya Samba ketika menyaksikan aksi individual Kaka.

Ketika menghadapi Bafana Bafana, akankah Brasil begitu digdaya? Ada pendapat menarik dari filsuf dan teolog Gustavo Gutierrez. Katanya, Amerika Latin memiliki dan mewakili kekuatan kaum miskin. Yang menonjol dari mereka, karakter perlawanan dan pembebasan terhadap penjajahan kekuatan kelompok dominan.

Amerika Latin punya utopia yang terungkap dalam nyanyian, tarian, puisi dan tentunya sepakbola. Harapan pembebasan kaum miskin disebut sebagai utopia sebab merupakan ekspresi dari sesuatu yang belum terjadi nyata tetapi sedang dalam proses menjadi.

Yang menggoda dari skuad Samba, perlawanan terhadap kekuatan status quo. Arahnya, pada praksis pembebasan untuk membuat dan menulis lagi sejarah (remaking history). Yang muda, yang empunya sejarah.

Dunga tidak ingin terlena kebesaran nama Samba di masa lampau, karena filosofi bola Brasil: membaca kembali torehan sejarah (rewriting) pembebasan dari ketertindasan. Filsafat Pembebasan ala Samba.(*)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009