Teheran (ANTARA News) - Capres gagal Mir Hossein Mousavi pada hari Kamis menyatakan bahwa ancaman dan tekanan tidak akan menghentikan usahanya dalam menolak hasil Pemilu.

"Saya tidak akan mundur dari menjaga hak-hak rakyat Iran...baik karena kepentingan pribadi maupun takut oleh ancaman," katanya dalam pernyataan di laman web koran miliknya, Kalemeh, seperti dikutip AFP.

Mousavi mengatakan dia telah ditekan untuk "menghentikan tuntutan pembatalan Pemilu" setelah mengajukan gugatan resmi atas terpilihnya Presiden Mahmoud Ahmadinejad dan meminta Pemilu ulang.

"Saya tidak bisa bilang yang putih itu hitam dan hitam itu putih. Kita harus jujur," kata tokoh berusia 67 tahun yang merupakan perdana menteri setelah Revolusi Islam 1979 itu.

"Jalan keluarnya bukanlah dengan membuat saya mengatakan sesuatu yang saya tidak percayai" katanya lalu mengatakan bahwa pihak-pihak yang telah mencederai proses Pemilu " berada di samping provokator utama dari kerusuhan baru-baru ini dan telah menyebabkan darah tumpah. "

Media pemerintah melaporkan setidak-tidaknya 17 orang tewas dalam huru-hara setelah pengumuman hasil pemilihan 12 Juni.

Mousavi juga mengulangi ajakan untuk para pendukungnya agar melanjutkan protes dengan cara yang tidak akan "menciptakan ketegangan."

"Strategi utama yang akan menjamin tujuan kita adalah dengan meneruskan protes dalam kerangka hukum dan dengan memperhatikan prinsip-prinsip revolusi Islam, " katanya.

Kantor Mousavi telah mengajukan izin untuk mengadakan upacara perkabungan bagi para demonstran yang tewas tetapi belum mendapat "lampu hijau".

"Akses saya ke masyarakat sangat terbatas," kata arsitek dan pelukis yang menjadi saingan utama Ahmadinejad.

"Laman web kami mengalami banyak masalah. Publikasi Kalemeh Sabz telah dihentikan dan dewan redaksinya telah ditangkap," kata Mousavi, mantan perdana menteri Iran tahun 80-an. Saat itu pemimpin besar Iran Ayatollah Ali Khamenei menjabat presiden.

Mousavi juga menentang keterlibatan "asing" dalam unjuk rasa.

"Saya pikir setiap orang yang mencintai bangsanya, Islam, dan revolusi, tidak akan mentoleransi peran asing dalam urusan kami --kami tidak boleh membiarkan asing turut campur." (*)

Pewarta: Ricka Oktaviandini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009