Brisbane (ANTARA News) - Stasiun TV "Saluran Tujuh" Australia, Senin menyebutkan bahwa Indonesia, Angola, Liberia, Sudan, dan Korea Utara sebagai lima negara dengan maskapai penerbangan "paling tidak aman" di dunia.

Dalam program siaran "Sunrise"-nya yang dipantau ANTARA News dari Brisbane, dua penyiar "Channel Seven", Mel dan Kochie, mengangkat topik keselamatan penerbangan menyusul terjadinya serangkaian insiden dan kecelakaan terhadap beberapa maskapai penerbangan dunia dalam beberapa bulan terakhir ini.

Dalam acara yang diisi dengan wawancara dengan Redaktur Senior Jurnal Manajemen Penerbangan "Air Transport World, Geoffrey Thomas, itu, terungkap bahwa tingkat keselamatan berbagai maskapai penerbangan Indonesia, termasuk Garuda, masih dipandang jelek.

Bahkan, Kochie sempat mempertanyakan alasan pemerintah Australia yang tidak mengikuti langkah Uni Eropa yang sudah terlebih dahulu melarang maskapai penerbangan dari 18 negara, termasuk Indonesia.

Sejauh ini, Garuda merupakan satu-satunya maskapai penerbangan Indonesia yang terbang ke Australia untuk melayani rute penerbangan Denpasar-Sydney, Denpasar-Perth, dan Denpasar-Melbourne.

Terlepas dari terjadinya insiden dan kecelakaan penerbangan, termasuk sebuah pesawat Airbus A330 "Air France" yang terjatuh di Samudera Atlantik dan menewaskan seluruh penumpang dan awaknya awal Juni lalu, pesawat masih dianggap alat angkutan yang aman bagi manusia.

Setiap tahunnya ada dua miliar orang bepergian ke berbagai tempat di dunia dengan jasa penerbangan komersial. Menurut "Channel Seven", delapan maskapai yang dianggap "paling aman" di dunia adalah Qantas, Southwest Airlines, Air New Zealand, Delta, Cathay Pacific, Asiana Airlines, Emirates, dan Lufthansa.

Qantas dipertanyakan

Terhadap posisi pertama Qantas dalam daftar maskapai penerbangan teraman di dunia itu, Geoffrey Thomas mencatat maskapai penerbangan nasional Australia itu juga tetap tak bebas dari sejumlah insiden penerbangan dalam 50 tahun terakhir perjalanannya.

ANTARA News mencatat Qantas mengalami beberapa kali insiden penerbangan serius pada 2008 dan 2009. Pada 25 Juli 2008 misalnya, pesawat Qantas Boeing 747-400 terpaksa mendarat darurat di Filipina dalam penerbangan langsungnya dari Hongkong ke Melbourne setelah sebuah tabung gas oksigen di pesawat itu meledak. Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.

Lalu pada 29 Juli 2008, sebuah pesawat Qantas yang melayani rute penerbangan domestik terpaksa kembali ke Bandar Udara Adelaide, Australia Selatan, akibat ada gangguan terhadap pintu roda pendarat.

Pada 2 Agustus 2008, Qantas Boeing 767 pun terpaksa kembali ke Bandara Sydney segera setelah lepas landas akibat ada cairan yang keluar dari sayap pesawat tersebut.

Pesawat Qantas Airbus A330-300 dalam penerbangan dari Singapura ke Perth pada 7 Oktober 2008 mengalami turbulensi yang mengakibatkan terlukanya 46 orang penumpang.

Akibat serangkaian insiden ini, tingkat kepercayaan publik negara itu pada standar keselamatan Qantas merosot. Anjloknya tingkat kepercayaan publik Australia itu setidaknya tercermin dari hasil survei UMR, salah satu lembaga riset penting yang berbasis di Australia dan Selandia Baru.

Laporan hasil survei UMR menyebutkan, sebanyak 63 persen dari seribu orang responden yang mengikuti survei UMR pada 1-7 Agustus dan 19-24 September 2008 memandang standar keselamatan penerbangan Qantas memburuk dalam beberapa tahun terakhir ini.

Serangkaian insiden penerbangan serius sepanjang 2008 itu masih berlanjut pada 2009. Pada 22 Juni 2009 misalnya, pesawat Airbus A330-300 Qantas mengalami turbulensi di atas wilayah udara Malaysia di Pulau Kalimantan (Borneo) dalam penerbangannya ke Perth, Australia Barat, dari Hong Kong.

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009