Jakarta (ANTARA News) - Antropolog asal Amerika Serikat, Profesor Gene Ammarell, menerbitkan buku hasil penelitiannya mengenai pengetahuan lokal nelayan Bugis Makassar, Sulsel, di bidang navigasi dan kelautan.

Selain itu, buku yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia tersebut juga membahas ihwal masyarakat Bugis Makassar yang mempunyai ilmu pengetahuan yang sistematis mengenai pergantian musim, arah mata angin, dan gelombang.

"Penelitian tersebut berawal dari kekaguman saya akan pengetahuan mereka, sehingga mereka bisa menaklukkan lautan yang luas dan ganas," kata Gene Ammarel, dalam acara bedah bukunya di Jakarta, Jumat.

Sejak SMA hingga di awal-awal riset kebaharian yang ia lakukan, Gene hanya tahu letak rangkaian bintang yang bila membuat garis imajiner tertentu, sudutnya yang berakhir di horizon menunjuk arah selatan.

Dalam hasil penelitiannya, selain sebagai alat navigasi, nelayan Bugis juga menggunakan perubahan posisi "boyang kepang" sebagai tanda musim ikan dan musim angin kencang.

"Bila `tobalu`dan `boyang kepang` terlalu dekat ke horison, hati-hati bila melaut. Angin kencang cenderung terjadi," kata dia menjelaskan.

Hal tersebut, kata dia, merupakan contoh aplikasi bintang di kalangan nelayan dan pelaut. Nelayan lebih kompleks lagi dalam memanfaatkan bintang dibanding pelaut, katanya.

Istilah nama bintang, gugusan atau rasi bintang dan jumlah, menurut dia, perlu diketahui dengan baik serta penggunaannya. Dalam penerapannya, ada kesamaan dan perbedaan antarsuku-suku yang berorientasi bahari.

Gene Ammarel yang juga direktur Program Studi Asia Tenggara di Ohio University ini, mendedikasikan lebih dari 20 tahun masa hidupnya untuk meneliti pelayaran Bugis-Makassar.

Dalam melakukan penelitian, ia tinggal di sebuah pulau kecil bernama Balobaloang, yang jaraknya sekitar 18 jam perjalanan laut dari Kota Makassar.

Di pulau Balobaloang, dia mengaku merasa seperti kampung halaman sendiri.

Bersama beberapa mahasiswanya, ia masih konsisten melakukan studi dan bahkan membuat program-program penyelamatan lingkungan di pulau Balobaloang dan sekitarnya.

Menurut dia, saat ini cara-cara penangkapan ikan yang merusak lingkungan makin marak di sekitar pulau itu, seperti pengeboman ikan dan penggunaan potasium untuk menangkap ikan.

Ia juga membuat program-program kampanye penyelamatan terumbu karang di sekitar pulau Balobaloang. (*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009