Jambi (ANTARA News) - Pertunjukan teater "Yang melintas dalam samar" karya/sutradara Kurniasih Zaitun, produksi Komunitas Hitam-Putih, Padang, yang dipentaskan di Jambi, Sabtu (4/7) mendapat kritikan dari apresiator Jambi.

Salah satu kritikan itu disampaikan DR Meizar Karim, yang juga Pembantu Rektor III Universitas Jambi (Unja), yang mengatakan, pertunjukkan belum bisa memuaskan apresiator.

Pertunjukkan ini merupakan perpaduan antara teks dan gerak tubuh atau gesture, seperti perpaduan Putu Wijaya dan Wisran Hadi," katanya di Jambi ketika memberikan tanggapannya usai pertunjukan.

Meizar juga menyayangkan pertunjukkan tidak didekatkan dengan setting dan budaya Sumatera Barat, sebab komunitas ini yang berasal dari negeri Minang.

Sementara itu, Kurniasih mengakui dirinya belum optimal dalam mengeksplorasi pertunjukan tersebut, karena akan terus melakukan "research" dan penggalian untuk menjadi bahan baru pertunjukan.

"Pentas ini belum selesai, masih panjang dan kita terus mengeksplorasinya," tuturnya.

Namun pernyataan Kurniasih bahwa "pentas belum selesai" mendapat kritikan tajam dari DR Sudaryono, kritikus sastra dan teater Jambi.

Ia menyatakan, sangatlah salah jika pertunjukan dinyatakan belum selesai, salah fatal dikatakan belum selesai.

Kendati demikian, doktor sastra ini menilai pertunjukan itu telah sukses digarap oleh sang sutradara. Kesuksesan itu dilihat dari pertunjukkan yang tidak jelas.

"Tidak jelas pertunjukkannya. Tetapi itu keinginan sutradara dan berhasil," ujarnya.

"Yang melintas dalam samar" itu sendiri sebelumnya dipentaskan di Taman Budaya Surakarta pada 24 Juni lalu. Sebuah produksi dari hibah seni yayasan Kelola dan Hivos, dua lembaga independen yang intens mendukung sebuah proses kesenian dan kebudayaan.

Naskah ini merupakan gambaran kondisi perempuan dan perkembangan zaman. Hari Ibu, merupakan bentuk penghargaan yang diberikan kepada kaum perempuan sebagai wujud pentingnya fungsi, peran dan posisi kaum ibu dalam segala lini.

Posisi penting ini seakan-akan terjajah oleh sistem patriarkhi yang lebih menomorsatukan "keinginan" laki-laki.

Kebudayaan matrilini, perempuan menjadi yang utama, pemilik segala bentuk warisan, hal ini menjadikan peran, fungsi dan posisi perempuan cukup kuat, namun budaya matrilini ini hanya dimiliki sebagian kecil masyarakat, yang salah satunya adalah Minangkabau.

Matrilini merupakan sistem kekerabatan garis keturunan ibu. Di Minangkabau kehadiran perempuan dalam prosesi adat dan budaya bukan sesuatu yang asing. Ini terlihat dan tergambar dalam kaba (cerita) Minangkabau.

Tokoh perempuan telah ditempatkan sebagai "limpapeh rumah nan gadang". Perempuan Minang diibaratkan sebagai pondasi dari sebuah bangunan, jika tidak ada pondasi maka struktur bangunan tidak dapat terwujud.

Menyikapi keberadaan kaum perempuan dalam sistem matrilini yang tertuang dalam legenda Minangkabau, sekarang mulai bergeser. Ada anggapan bahwa sistem matrilini merupakan sistem kuno yang dipakai oleh masyarakat primitif, sementara sistem tersebut sangat memperjuangkan nasib kaum perempuan dalam pergerakan.

Dimanapun saat ini, kaum perempuan cukup mendapat tempat dengan berbagai bentuk gerakan yang katanya telah diperjuangkan, baik dalam bentuk isu yang beragam, emansipasi, perjuangan gender, feminisme maupun lainnya.

Pada perkembangannya banyak perempuan hari ini melakukan pergeseran dari sistem matrilineal itu sendiri. Ada pemahaman yang bergeser akibat bisa memperjuangan gender tersebut.

Memaknai peran, posisi dan fungsinya tidak lagi pada wujud yang dipahami oleh sistem matrilini. Perempuan biasanya berada pada posisi legislatif dan laki-laki berada pada posisi eksekutif. Namun saat ini terlihat dua-duanya berposisi eksekutif dan legislatif sekaligus.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009