Hanya dua persen yang di-PHK dengan pesangon
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Indonesia mengemukakan hasil survei menunjukkan banyak korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi COVID-19 berasal dari tenaga usaha jasa.

Berdasarkan jenis pekerjaannya, sebanyak 32 persen korban PHK berasal dari tenaga usaha jasa; 22 persen tenaga profesional atau teknisi; 15 persen tenaga tata usaha; 13 persen tenaga produksi operator alat angkutan dan pekerja kasar; dan sembilan persen tenaga usaha penjualan.

Survei yang dilakukan terhadap 1.112 pekerja menunjukkan 65 persen responden terdampak COVID-19 dapat bekerja di rumah, namun 15 persen pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon.

"Hanya dua persen yang di-PHK dengan pesangon,” kata peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Ngadi dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, Jakarta, Senin.

Survei dalam jaringan terkait Dampak Pandemi COVID-19 pada Pekerja dilakukan oleh LIPI bersama Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Sedangkan dari tingkat pendidikan, sebanyak 52 persen merupakan lulusan SLTA/sederajat, 30 persen tamat perguruan tinggi setingkat sarjana, dan 11 persen lulusan diploma.

Hasil survei menunjukkan lapangan pekerjaan yang paling terdampak PHK adalah sektor perdagangan, rumah makan dan akomodasi dengan persentase 24 persen diikuti jasa kemasyarakatan sebesar satu persen.

Responden yang mengalami PHK sendiri didominasi oleh laki-laki sebanyak 61,3 persen. Dari segi pendapatan, sebanyak 43 persen masih memiliki pendapatan tetap.

Baca juga: Menaker: Belum ada data perusahaan yang tidak mampu bayar THR

Baca juga: Menteri Sosial minta pengurus RT/RW kawal penyaluran bantuan sosial


Namun, 20 persen responden mengalami pengurangan pendapatan sampai 30 persen, sebanyak 16 persen tidak ada pendapatan, dan sebanyak 10 persen pendapatannya berkurang sampai 50 persen, dan 11 persen berkurang 30 sampai 50 persen.

Terkait sumber pendapatan, sebanyak 68 persen responden mengandalkan pendapatan dari pekerjaan saat ini untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

"Hanya dua persen yang menjadikan bantuan pemerintah sebagai sumber pendapatan utama,” ujar Ngadi.

Sebagai salah satu upaya memfasilitasi kebutuhan masyarakat, pemerintah meluncurkan program kartu Pra-kerja. Sebanyak 76 persen responden telah terinformasi mengenai Kartu Pra-kerja meskipun baru 24 persen yang telah mendaftar dengan alasan terbanyak mencoba peluang yang ditawarkan pemerintah.

Dari segi optimisme pencari kerja, sebanyak 48,5 persen responden pencari kerja mengaku kurang optimistis, dan 25,8 persen mempunyai sikap optimistis.

Menurut Ngadi, optimisme muncul karena 43,8 persen responden mengaku sudah diterima bekerja dan tinggal menunggu panggilan, 32, 1 persen responden mengaku memiliki keterampilan yang dibutuhkan pemberi kerja, serta 15,5 persen percaya pandemi akan segera berakhir.

Kemudian, hanya 8,6 persen responden mengaku percaya pemerintah menjamin kondisi perekonomian akan kembali pulih.

Survei itu diikuti responden berusia 15 tahun ke atas dengan presentase 44,1 persen perempuan dan 55,9 persen laki-laki. Sebanyak 31,91 persen merupakan tenaga profesional teknisi dan sejenisnya; 15,64 persen tenaga tata usaha dan sejenisnya; 14,10 persen tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan; 8,19 persen tenaga usaha jasa; 7,45 persen tenaga produksi, operator alat angkutan dan pekerja kasar; 5,34 persen tenaga usaha penjualan; 1,55 persen tenaga usaha pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan; serta 15 persen adalah pekerjaan umum lainnya.

Berdasarkan distribusi responden menurut tempat tinggal, 75,7 persen merupakan penduduk pulau Jawa dan distribusi responden menurut tempat bekerja pun 75,1 persen didominasi pulau Jawa dengan persentase 37,7 persen bekerja di DKI Jakarta; 16 persen di Jawa Barat dan 6,7 persen di Jawa Tengah. Sisanya 8,5 persen bekerja di Sumatera; empat persen di Kalimantan; 3,8 persen di Sulawesi; 2,2 persen Maluku dan Papua; serta 6,4 persen bekerja di Bali dan Nusa Tenggara.

Baca juga: Menkeu: Indeks manufaktur Indonesia terendah sepanjang sejarah

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020