Jakarta (ANTARA News) - Penyederhanaan jumlah partai politik yang saat ini ada di Indonesia perlu dilakukan sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas partai politik sehingga bisa memberikan kontribusi yang lebih baik terhadap perkembangan politik nasional.

Hal tersebut mencuat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Modernisator yang berlangsung di Jakarta, Rabu malam.

"Pembatasan jumlah partai politik (parpol) dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan penerapan aturan penalti bagi parpol yang tidak lolos parliamentary threshold (ambang batas perolehan kursi di DPR-Red)," kata Rektor Universitas Paramadina Anies R Baswedan yang menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut.

Anies menjelaskan penalti yang dimaksud adalah dalam aturan parpol yang boleh ikut serta dalam pemilu dicantumkan bahwa setiap parpol harus menitipkan sejumlah uang kepada kas negara dan bila dalam pemilu lolos PT (parliamentary threshold) maka sejumlah uang itu dikembalikan namun bila tidak lolos maka menjadi milik negara.

"Besaran uang itu, katakanlah Rp250 miliar, jadi setiap orang berpikir lebih bila ingin mendirikan partai politik. Sistem penalti ini dapat membuat parpol bukan berbasiskan elit politik namun berbasis pada rakyat yang mendukungnya," katanya.

Ia menunjuk pada kenyataan hasil pemilu legislatif lalu, tidak sedikit parpol yang minim mendapat dukungan dari rakyat sehingga suara yang diperoleh dalam pemilu sangat sedikit.

Pendapat Anies tersebut juga didukung oleh praktisi marketing komunikasi Ipang Wahid yang menilai pasca pemilu 2009 perlu adanya penyederhanaan jumlah parpol sehingga masyarakat tidak bingung dan juga efektif dalam peningkatan kualitas politik dalam negeri.

"Perlu dilakukan pengetatan administrasi pendaftaran parpol, misalkan adanya penggabungan parpol yang tidak lolos parliamentary threshold," kata praktisi yang berada di belakang pembuatan iklan pilpres pasangan JK-WIN itu.

Sementara itu, Dino Patti Djalal salah satu inisiator Forum Medernisator mengatar Indonesia harus didorong untuk melakukan modernisasi politik sehingga kemampuan bangsa untuk menjadi salah satu negara yang disegani di dunia dapat terwujud termasuk mengoptimalkan pemikiran kalangan muda.

Ia menjelaskan, yang diperlukan Indonesia saat ini dan juga di masa mendatang adalah mendorong modernisasi politik di sejumlah bidang dan juga mengajak semua pihak untuk terlibat dalam upaya modernisasi itu sehingga Indonesia menjadi negara yang memiliki sistem politik yang lebih maju.

"Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mendorong modernisasi itu terwujud. Salah satunya adalah peremajaan, namun tidak secara otomatis merupakan modernisasi karena ada kalanya tokoh muda justru berpikiran konservatif dan reaksioner," katanya.

Ia mengatakan, modernisasi haruslah dipandang sebagai pembaruan ide, penanaman nilai-nilai serta semangat modernisasi itu sehingga semua orang memiliki pemahaman dan tujuan yang sama untuk mewujudkan tata politik yang lebih baik.

"Hal lain tentang modernisasi adalah ia harus mengentalkan keindonesiaan, artinya modernisasi bisa berjalan seiring dengan tradisi. Modernisasi harus membuat orang Indonesia tetap menjadi orang Indonesia, bukan menjadi bangsa lain," tegasnya.

Ia juga menilai, upaya modernisasi harus diiringi dan memberi kontribusi terhadap peningkatan bobot serta kualitas bangsa.

"Bila tidak diikuti dengan kualitas di bidang ekonomi, pertahanan dan juga kemampuan lainnya, maka tidak ada negara yang akan memandang kita sebagai sebuah bangsa yang sejajar," kata Dino.

Forum modernisator digagas oleh sejumlah tokoh muda seperti Dino Patti Djalal, Chatib Basri, Emirsyah Sattar dan Erwin Aksa untuk mendorong pemikiran-pemikiran dan ide-ide baru terhadap perkembangan bangsa di berbagai sektor.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi ketujuh forum tersebut, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, pengamat politik Bara Hasibuan, dan praktisi komunikasi Ipang Wahid.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009