Jakarta (ANTARA) - Akibat pandemi COVID-19, banyak masyarakat yang mengalami kesulitan, baik pangan maupun ekonomi, termasuk juga Orang Rimba kelompok Sikar di Sungai Mandelang, Kabupaten Merangin, Jambi, yang harus menyambung hidup dengan memungut sawit.

Menurut aktivis Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Orang Rimba kelompok Sikar harus mengambil buat sawit yang jatuh di lahan perkebunan PT Sari Aditya Loka (SAL) Jambi, yang dulu merupakan hutan tempat rumah mereka.

"Ini merupakan kelompok rentan dan mengalami kesulitan melanjutkan hidup, kesulitan mendapatkan pangan yang baik dan kesulitan meningkatkan derajat kehidupan melalui pendidikan dan layanan kesehatan yang memadai," kata Robert Aritonang, antropolog KKI Warsi, dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Menurut pimpinan Orang Rimba Sungai Mendelang bernama Tumenggung Sikar yang ditemui Warsi, mereka kehilangan sumber penghidupan setelah pandemi karena tidak ada yang membeli babi yang mereka jual.

Permasalahan pangan itu juga berujung dengan konflik yang terjadi antara Orang Rimba dan PT SAL ketika mereka ingin mengumpulkan buah sawit yang jatuh di area perkebunan pada Selasa (12/5).

Menurut Warsi, ketika ingin mengumpulkan sawit yang jatuh, kelompok Orang Rimba bertemu dengan petugas keamanan dari PT SAL yang menyuruh mereka kembali. Setelah mereka berputar balik rombongan Orang Rimba masih terus diikuti oleh petugas keamanan yang berujung dengan konflik yang berlanjut sampai ke pemukiman mereka di Sungai Mandelang mengakibatkan kerusakan pondok dan motor Orang Rimba ditempatkan di kantor polisi.

Menurut Robert, persoalan konflik antara Orang Rimba adalah peristiwa berulang yang seharusnya tidak terjadi. Orang Rimba sudah tinggal di daerah itu sebelum berubah menjadi kebun sawit dan mereka tidak dijadikan bagian dari perubahan hutan yang menjadi sumber penghidupan mereka, kata dia.

Berdasarkan data Warsi, Orang Rimba di Jambi terdapat 441 keluarga yang hidup dalam perkebunan sawit dan 230 di kawasan hutan tanaman industri (HTI).

Menanggapi hal itu Robert berharap negara hadir melindungi mereka, apalagi mereka bisa masuk dalam kelompok rentan di tengah pandemi.

"Orang Rimba sangat rentan terhadap wabah, juga sangat rentan mengalami kesulitan pangan, harusnya mereka masuk kelompok yang dilindungi perusahaan. Bagaimanapun perusahaan yang hadir di hutan mereka, bukan mereka yang menumpang di sana. Itu yang harusnya dipahami perusahaan," ucap Robert.

PT SAL sendiri membantah adanya konflik dengan Orang Rimba. Menurut pernyataan resmi perusahaan yang disampaikan Manajer Humas Mochamad Husni ketika dihubungi oleh ANTARA pada Jumat, petugas keamanan perkebunan hanya menjalankan tugas bertanggung jawab terhadap keamanan semua pihak, termasuk keselamatan Orang Rimba yang hidup berdampingan di sekitar perusahaan.

Menurut dia, petugas keamanan bertemu Orang Rimba kelompok Sikar mencoba berdialog terkait larangan selain karyawan memasuki perkebunan. Hal itu dilakukan karena adanya protokol operasional pencegahan COVID-19.

Meski sempat menuruti imbauan itu, Husni mengatakan petugas keamanan mengalami pengeroyokan yang diduga dilakukan oleh Orang Rimba pada malam harinya.

Konflik yang terjadi di pemukiman Orang Rimba terjadi ketika orang desa sekitar melihat warganya yang menjadi petugas keamanan dikeroyok mencari pelakunya.

Husni mengatakan PT SAL lalu menghubungi polisi setempat untuk menghindari konflik lebih lanjut . Upaya mediasi terus dilakukan sampai saat ini.

"PT SAL ingin hidup dalam suasana harmonis seperti selama ini sudah berjalan bersama masyarakat desa sekitar maupun Orang Rimba. Apalagi di tengah suasana pandemi yang mengharuskan semua pihak bekerja sama lebih erat lagi," kata dia.

Dia mengatakan PT SAL telah memberikan bantuan beras dan sembako selama pandemi kepada masyarakat, termasuk kepada Orang Rimba. Bahkan, menurut dia, bantuan juga diberikan kepada Orang Rimba setiap bulannya sebelum pandemi.

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020