Palu, Sulteng, (ANTARA News) - Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan konflik SARA yang terjadi di Poso sekitar sepuluh tahun lalu, bisa diselesaikannya dengan cara marah, bukan dengan cara membujuk.

"Orang tanya, bagaimana mengatasi Poso? Saya jawab, dengan marah. Saya tak pernah membujuk. Saya justru marah. Jadi marah diatasi dengan marah," kata Wapres pada simposium refleksi setelah 10 tahun Konflik Poso" di Palu, Sulteng, Senin.

Simposium yang mengambil tema "Menata Kembali Masa Depan Poso Menuju Masyarakat Multikultural, Harmonis dalam Perbedaan dan Damai dalam Keberagaman" tersebut diselenggarakan oleh Universitas Tadulako, Palu.

Menurut Wapres, dalam keadaan orang marah dan memaki-maki, kalau dihadapi dengan lembek justru akan semakin marah dan menganggap yang lembek itu yang bersalah.

"Karena itu, saya marah. Kemudian kedua belah pihak mau berunding di Makasar," kata Wapres.

Wapres menceritakan, awal keterlibatannya pada Konflik Poso dimulai ketika datang bersama Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono pada 2001.

"Sebenarnya saya datang untuk mengatasi pengungsi. Itu tugas saya," kata Wapres.

Namun ketika datang ke Poso, tambah Kalla, ia justru dimaki-maki. Begitu pun ketika berada di Tentena, ia dimaki-maki juga.

"Di Lapangan Tentena, saya langsung ambil mikrofon dan saya marah. Ayo kita perang," kata Wapres menceritakan pengalamannya.

Saat itu, tambah Wapres, dirinya menawarkan tiga pilihan, pertama, akan memberikan lebih banyak peluru supaya bisa digunakan berperang, sehingga bisa saling membunuh.

Kedua, akan tambah pasukan untuk menembaki pihak-pihak yang bertikai.

"Saya `nggak sadar ketika itu saya bukan Panglima TNI tetapi Menko Kesra," kata Wapres yang disambut tawa.

Ketiga, katanya, kalau tidak mau dengan dua pilihan itu, dirinya mengajak kedua pihak yang bertikai itu untuk bicara dengannya.

"Jadi, saya mengatasi Poso, dengan marah. Saya tak pernah membujuk," kata Wapres.

Dengan tiga pilihan yang ditawarkan tersebut, akhirnya mereka sepakat memilih yang ketiga meskipun tetap mengaku tidak mau damai.

Kemudian perundingan dilakukan di Makasar dan selesai dengan ditandatanganinya perjanjian Malino pada 22 Desember 1999.

"Kenapa saya pilih tanggal itu. Karena 22 Desember itu pas tiga hari setelah lebaran dan tiga hari sebelum Natal," kata Wapres.

Wapres juga menjelaskan bahwa dalam Deklarasi Malino tersebut tidak ada kata-kata damai, karena mereka sebenarnya tak mau damai, tetapi sama-sama mau menghentikan konflik.

"Ya `nggak mau damai tapi mau menghentikan konflik. Dan menghentikan konflik itu kan sama dengan damai?," kata Wapres yang disambut tawa.

Menurut Wapres, untuk menghindari terjadinya konflik lanjutan maka ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah harus bersikap adil. Kedua, harus meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Sementara Gubernur Sulteng, Paliudju meminta Wapres Jusuf Kalla agar bisa membantu memperjuangkan keluarnya anggaran untuk Inpres No.7 tahun 2008 soal rehabilitasi dan pengembalian pengungsi Poso.

"Minta bantuan Wapres berkenaan dengan Inpres No.7 tahun 2008 agar dananya bisa dianggarkan," kata Gubernur Sulteng Paliudju.(*)

Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009