Jakarta (ANTARA News) - RAPBN 2010 berpotensi menghambat laju pertumbuhan dunia usaha dan perbankan, karena bersifat kontraktif dan menambah crowding out effect dalam perekonomian nasional.

Presdir Center for Banking Crisis (CBC), Ahmad Deni Daruri di Jakarta Senin, mengatakan, hambatan itu dapat dilihat dari penurunan defisit RAPBN dari 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 1,6 persen saja.

"Akibatnya efek pengganda perekonomian akan berkurang sebesar 65 persen dari yang seharusnya tercipta, namun dengan asumsi tidak terjadi kebocoran yang berupa defisit pembayaran yang akut," ujarnya.

Dia menambahkan potensi terjadi defisit pembayaran yang akut sebetulnya cukup besar karena perdagangan bebas antara RRC dan ASEAN mulai dibuka pada tahun 2010.

Menurutnya, India yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dari Indonesia, membuka defisit RAPBN hingga 9 persen dari PDB agar ilusi efek pengganda negatif dapat dieliminir.

Deni memperkirakan konsumsi privat akan tergerus antara 20 persen hingga 50 persen, artinya keseimbangan perbankan akan mengalami perubahan sehingga bank-bank khususnya bank swasta akan dipaksa untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit,? tuturnya.

Permasalahannya, lanjut Deni, crowding out effect justru akan terus melebar pada tahun 2010 karena asumsi pertumbuhan ekonomi yang kelewat rendah serta defisit RAPBN yang kelewat rendah. Pada gilirannya perbankan mengalami efek destabilisasi likuiditas.

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perekonomian pada tahun 2010 akan bersumber dari permintaan domestik dan membaiknya sisi penawaran dengan asumsi harga minyak tidak melebihi 60 dolar AS per barel. Padahal Saudi Arabia sudah menetapkan angka ideal 70 dolar per barel.

"Dengan tingkat defisit RAPBN 2010 yang sudah kecil akan semakin tidak memberikan dampak stimulus jika pembenahan sektor riil dan pengeluaran infrastruktur tidak direalisasikan pada tahun 2010," tuturnya.

Akibatnya, dunia usaha yang pada akhirnya-lah yang akan membiayai infrastruktur tersebut. "RAPBN 2010 sarat dengan 'biaya tinggi' (high cost economy) bagi dunia usaha, termasuk perbankan dan bersifat kontraktif bagi perekonomian," katanya. (*)

Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009