Jakarta (ANTARA News) - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) cukup dibentuk di lima wilayah saja dan tidak perlu ada di setiap kabupaten/kota mengingat keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia.

"Pembentukan Pengadilan Tipikor di seluruh kabupaten/kota adalah ide yang tidak realistik baik dari segi anggaran maupun SDM," kata Dadang Trisasongko dari Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi kepada wartawan di Jakarta, Selasa.

Menurut Dadang, ada kemungkinan bahwa usulan tidak realistik tersebut merupakan isu yang digulirkan agar pembahasan RUU Tipikor mengalami kebuntuan.

Usulan tersebut, ujar dia, juga bisa membenturkan antara kepentingan anggaran untuk Pengadilan Tipikor dan kebutuhan anggaran untuk sejumlah program pro-rakyat.

Ia memaparkan, pembentukan Pengadilan Tipikor yang terbaik bila dilihat baik dari segi anggaran maupun SDM adalah adanya keberadaan Pengadilan Tipikor yang cukup hanya di lima wilayah.

Lima wilayah tersebut mewakili regional masing-masing yaitu di Jakarta Pusat (Pengadilan Tipikor saat ini), Medan, Makassar, Samarinda, dan Surabaya.

Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi terdiri dari sekitar 30 LSM antikorupsi antara lain Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Transparency International (TI) Indonesia, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Sementara itu, Sekretaris Jendral TI Indonesia, Teten Masduki, mengatakan, koalisi politik yang dibangun oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya sudah cukup besar sehingga seharusnya bisa digunakan untuk mendesak DPR agar segera menyelesaikan RUU Tipikor.

Teten juga menginginkan agar Pengadilan Tipikor di masa depan tidak hanya menerima kasus dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi juga bisa mengadili kasus korupsi dari pihak kejaksaan.

Sedangkan peneliti bidang hukum ICW, Febri Diansyah, mengemukakan, pihak Koalisi pada Rabu (26/8) esok akan menggelar aksi di Gedung DPR/MPR yang rencananya akan dilakukan dengan memberikan perangkap dan racun tikus kepada anggota dewan.

Hal itu, ujar Febri, merupakan tindakan simbolik yang memaknakan bahwa belum selesainya RUU Tipikor oleh DPR kemungkinan juga karena adanya intervensi atau campur tangan dari para "tikus-tikus" koruptor.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009