Oleh Bob Widyahartono *)

Jakarta (ANTARA News) - Memasuki era kepemimpinan bangsa yang bervisi baru, masih bermaknakah wacana serta siapa saja yang terhitung anggota yang memperbarui diri kelas menengah di negeri ini?

Kelas menengah bukan organisasi formal, tetapi anggotanya tersebar dalam yang terhitung insan pengusaha, dalam jajaran organisasi bisnis, terutama usaha kecil dan menengah (UKM) yang terhitung managemen menengah/operasional, kelompok, pengamat, akademisi, intelektual dan mahasiswa. Hal pasti yang jangan dilupakan adalah peran pers yang independen dan tidak termasuk dalam struktur/sistem birokrasi pemerintahan.

Di manapun di dunia, kelas menengah yang merupakan kekuatan moral yang tangguh dan pasti mampu menggerakkan dan memberi warna masyarakat sipil (civil society). Sejak memasuki era reformasi ini di tanah air kita sudah terjadi daya gerakan kemanusiaan, gerakan anti-otoriterisme, gerakan memberdayakan dalam wacana masyarakat sipil yang makin bermoral.

Kepeloporan gerakan tersebut berada di tangan kelas menengah yang sebelum era reformasi secara sistematik diinjak-injak, dibungkam dan disudutkan ke pinggiran oleh elit politik, kelompok penekan (pressure groups), yang bergaya kebapakan alias paternalistik sekaligus otoriter dan diktator.

Dengan elan vital kelas menengah yang memperbarui diri dalam wacana dan etika tetap muncul kembali. Kesadaran munculnya kelas menengah yang jujur/etis pasti bukan cari popularitas dan sesaat sifatnya.

Kita patut menyerap beberapa butir yang bernilai dari makalah Amartya Sen (pemenang Hadiah Nobel 1998), “Democracy as a Universal Value” (February 1999), yang mewanti wanti “The value of democracy includes its intrinsic importance in human life, its instrumental role in generating political incentives, and its constructive function in the formation of values and in the understanding of the force and the feasibility of claims of needs, rights and duties". (Nilai demokrasi mencakup kepentingan intrinsik dalam kehidupan manusia, peranan instrumentalnya dalam mencuatkan insentif politik, dan fungsi konstruktif dalam pembentukan nilai nilai serta dalam pemahaman akan kekuatan dan kelayakan tuntutan kebutuhan, hak dan kewajiban).

Dalam demokrasi, pemerintah dan DPR merupakan salah satu unsur yang hidup berdampingan dalam suatu struktur sosial dari lembaga lembaga yang banyak dan bervariasi, partai politik, organisasi dan asosiasi Keanekaragaman ini disebut pluralisme dan ini berasumsi bahwa banyaknya kelompok dan lembaga dalam suatu masyarakat demokratis.

Peranan kelas menengah sebagai penjaga demokrasi dan nilai nilai moral (custodian of democracy and moral values ) dalam masyarakat dengan kesadaran hati nurani masing masing yang merasa bagian kelas menengah makin mencuat. Artinya, "esa hilang, dua terbilang", tetap eksis sebagai kekuatan moral.

Independensi mereka itu senantiasa membawa angin segar dalam wacana demokrasi. Kekuatan moral (moral force). Bukan organisasi terstruktur memberi tekanan, yang bukan “physical force”. Moral force harus terus bergema dengan dukungan pers yang menyurakan hati nurani rakyat. Sama seperti di manca negara, seperti Perancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat dan negara Asia layaknya di Jepang, Korea Selatan, China, maupun sejumlah negara Afrika dan Amerka Latin.

Seringkali muncul gugatan di kalangan intelektual dan pengamat: benarkah kelas menengah kita sebagai manusia independen tanpa ikatan formal terstruktur tidak melulu bergerak karena keinginan publisitas, tetapi justru karena panggilan sejarah menata kembali/mereformasi dalam arti “the middle class is making history”.

Jangan sampai kelas menengah terbuai oleh ekspektasi yang membuat mereka menjadi arogan, dan mudah kecewa menjadi masa bodoh, ketika ekspektasi peranannya tidak mudah tercapai. Kelompok yang masa bodoh menjadi mudah dibuat bodoh oleh para pelaku anti-demokrasi.

Setiap manusia yang sadar dan dengan hati nurani terhitung dalam kelas menengah dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada yang menyuruh adalah “penjaga dan penggerak demokrasi dan nilai moral” (custodian of democracy and moral values). Gaya monopoli sekaligus otoriter secara liar berlawanan dengan demokrasi. Jadi, makin didambakannya persaingan dalam ajang setara (level playing fields) sebagai wujud sarana demokrasi dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi mencapai tujuan "kedamaian, kebahagian dan kesejahteraan" manusia sebagai warga bangsa.

Peranan kelas menengah dengan dukungan instrumen demokrasi lainnya, yaitu pers yang bebas dan profesional, bukan karena beberapa nama saja. Kelas menengah itu ibaratnya pahlawan tanpa publisitas dan memang menjadi penggeraknya demokrasi.

Patutlah diketahui bahwa di negara manapun, termasuk Indonesia bangkitnya kelas menengah melawan ditaktur dan kesewenangan , sekaligus membantah pengamat yang mempertanyakan kekuatan kelas menengah kita. Bangkitnya kelas menengah itu karena perasaan terinjak injkanya hak dan kewajiban dalam demokrasi yang memiliki nilai universal. Bangkitnya kelas menengah kita bukan karena beberapa orang yang dituduh menjiplak elan vital kelas menengah negara Eropa, Amerika atau Jepang.

Dalam masyarakat otoriter, boleh dikata semua organisasi dikendalikan, didaftar, diawasi dan bertanggungjawab kepada pemerintah. Pers yang bebas pun diperlakukan secara kerdil dan pembodohan terus berlangsung selama elit demikian berkuasa secara otoriter dan diktator.

Kelas menengah merupakan suatu kelompok independen, bergerak maju, tidak terbatas oleh satu generasi saja dan pasti ada kesinambungan karena sebagai pejuang demokrasi dan melalui pendidikan nilai (education of values). Kelas menengah yang jujur/etis tidak mudah tergiur dengan julukan sebagai pahlawan.

Hal yang esensial adalah anggota kelas menengah jangan terjebak menjadi arogan, dan berekspektasi yang aneh-aneh, tapi tetap konsisten dengan kesegaran wacana beretika.

*) Bob Widyahartono (bobwidya@cbn.or.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi, Universitas Tarumanagara (Untar) Jakarta.

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2009