Sanaa (ANTARA News/Reuters) - Gerilyawan Syiah Yaman yang berperang di bagian utara Semenanjung Arab yang menghadapi kesulitan memperingatkan "perang lama" Rabu setelah pemerintah menolak tawaran gencatan senjatanya.

"Sejak pemerintah menolak prakarsa itu, kami memperingatkan mereka bahwa mereka telah kehilangan kesempatan yang berharga," kata satu pernyataan dari kantor kelompok oposisi Abdul-Malik al-Houthi.

"Mulai sekarang mereka akan melihat konsekuensi perang yang berat dan kami menjanjikan mereka kejutan besar serta perang lama yang menghabiskan tenaga lawan, lebih lama dari yang mereka pikirkan dan yang mana kami akan sabar. Kami akan bersiap bagi agresi dan tirani mereka"

Gerilyawan aliran Syiah Zaidi itu mengatakan mereka menginginkan otonomi lebih banyak, termasuk sekolah Zaidi di daerah mereka. Mereka menentang fundamentalisme Sunni yang dipengaruhi-Saudi dan mengatakan mereka akan mempertahankan desa-desa mereka dari penindasan pemerintah.

Pemerintah mengatakan mereka itu ingin memulihkan negara Syiah pada 1960-an dan telah memanggil duta besar Iran karena liputan media Iran mengenai pertempuran tersebut.

Seorang jurubicara pemerintah menyatakan tawaran itu tidak memuat sesuatu yang baru dan menegaskan kembali permintaan pada gerilyawan untuk menghentikan pertempuran, membuka kembali jalan, mundur dari daerah yang mereka duduki dan berhenti "campurtangan" dalam urusan pemerintah setempat.

Konflik tersebut telah mengkhawatirkan tetangganya Arab Saudi dan negara-negara Barat, yang takut al Qaida dapat mengeksploitasi ketidakstabilan Yaman untuk melancarkan serangan di kawasan itu. Pemerintah Sanaa juga ditantang oleh orang-orang yang memisahkan diri di selatan.

Seorang gerilyawan yang berupaya untuk membunuh wakil menteri dalam negeri Arab Saudi pekan lalu masuk negara itu dari Yaman.

Informasi mengenai aturan perang, yang memusatkan perhatian sebagian besar pada wilayah Saada, sulit membuktikan sejak daerah itu ditutup untuk media.

Lebih dari 100.000 orang, banyak dari mereka anak-anak, telah melarikan diri dari rumah mereka pada saat meningkatnya pertempuran, kata satu badan PBB bulan lalu, dan kelompok bantuan telah mengeluhkan akses buruk ke zona perang.

Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan Selasa, pihaknya telah berusaha untuk mendistibusikan bantuan pangan untuk membantu hanya 10.000 orang di gubernuran Hajjah dan Saada Agustus dibanding pada 95.000 orang pada Juli karena akses yang terbatas itu.

"WFP sekarang minta koridor yang aman dibuka agar supaya bantuan dapat mencapai semua orang yang terlantar akibat pertempuran terakhir," katanya. Badan-badan PBB telah memindahkan staf keluar dari Saada ke ibukota.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009