Jakarta (ANTARA News) - 29 Desember 2003, ketika sebagian besar orang menikmati cuti menjelang hari raya, Taufiequrrachman Ruki justru harus membelah jalan raya Ibu kota yang mulai sunyi.

Ketika itu, dia, bersama empat rekan seperjuangan, menuju Istana Negara untuk dilantik sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ruki berusaha untuk bangga. Dia dan keempat rekannya, Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul, Tumpak Hatorangan Panggabean, dan Erry Riyana Hardjapamekas, sepenuhnya sadar bahwa mereka harus berbangga karena bisa memimipin lembaga pemberantasan korupsi yang memiliki kewenangan luar biasa.

Namun, kata hati Ruki yang saat itu didaulat menjadi ketua tidak bisa berbohong. Nalurinya mengatakan bahwa kenyataan tidak selamanya membanggakan. Dia dan keempat temannya menghadapi hambatan dan tantangan berat.

Pelantikan mereka sebagai pimpinan KPK memang terkesan mendesak, namun cukup beralasan. Saat itu, Presiden Megawati Soekarnoputri "terpaksa" melantik Ruki pada Sabtu untuk menghindari pelanggaran Undang-undang.

Jika saja pemerintah melantik Ruki dua hari kemudian, Senin, 1 Januari 2004, berarti sudah terjadi pelanggaran hukum karena Undang-undang KPK harus diterapkan dua tahun setelah disahkan, yaitu akhir Desember 2003.

Ketergesaan itu pula yang membuat pimpinan KPK tidak memiliki sarana dan prasarana untuk memulai pekerjaan. Kelima orang itu bahkan tidak memiliki karyawan dan ruang kerja.

Dalam wawancara khusus dengan ANTARA News, Ruki mengaku, ketika itu hanya bermodalkan semangat dalam mengawali karir barunya sebagai ketua KPK.

"Kantor saya saat itu di jalan aspal B 29," kata purnawirawan polisi itu sambil tertawa terbahak-bahak. Ruki menyatakan alamat itu merujuk pada nomor polisi mobil pribadinya.

"Jangankan memikirkan gaji, kantor saja belum ada," katanya menambahkan.

Hal pertama yang Ruki lakukan adalah mencari anak buah untuk membangun pondasi KPK. Akhirnya, Ruki berhasil mengajak sopir pribadinya selama bertugas di kepolisian. Erry Riyana mengajak sekretaris pribadinya selama bertugas di PT Timah, sedangkan Sjahruddin Rasul memboyong sepuluh auditor.

"Mereka digaji dengan uang kami sendiri," kata Ruki sembari mengatakan KPK belum mendapatkan alokasi anggaran.

Dengan menggunakan dana talangan dari Departemen Kehakiman dan organisasi Kemitraan, beberapa "pendiri" KPK itu mengadakan sejumlah rapat untuk membahas berbagai kebutuhan teknis dan administratif KPK.

"Bahkan kita mulai dari mendesain kop surat, benar-benar mulai dari nol," kata Ruki menjelaskan.

Tidak lama setelah itu, Ruki dan empat rekannya mendapat tambahan sejumlah penyidik kepolisian yang lolos seleksi.

Ruki berseloroh, para penyidik itu sempat patah arang ketika melihat kenyataan bahwa KPK tidak memiliki gedung, bahkan tidak memiliki kursi untuk berkumpul dalam rapat.

"Pada titik itu, peran pimpinan sangat sentral dalam memompa semangat anak buah," kata peraih penghargaan bintang Mahaputera Adipradana itu.

Ruki mengaku selalu memberikan semangat dan keteladanan kepada anak buahnya. Dia menyadari, kepercayaan anak buah kepada pimpinan adalah faktor penentu keberhasilan sebuah organisasi.

Dinamika itu terus berlangsung, hingga akhirnya mereka bisa berkantor di bekas gedung Sekretariat Negara. Di tempat itu, sistem organisasi KPK mulai menguat.

Krisis kepercayaan

Ruki mengatakan, masalah kepercayaan kepada pimpinan bisa terjadi di setiap organisasi. Benturan kepercayaan juga terjadi ketika dia aktif sebagai Ketua KPK.

Ruki "blak-blakan" mengaku, para pimpinan KPK saat itu pernah menerima sejumlah "iming-iming" untuk menyelesaikan kasus di luar proses hukum.

"Syukurlah semua itu tidak terjadi, ini karena penghayatan kode etik sangat kami utamakan," kata Ruki.

Menurut Ruki, kepercayaan kepada pimpinan tidak hanya dipengaruhi oleh keteladanan pimpinan. Kepercayaan juga tumbuh karena pimpinan KPK saat itu benar-benar menerapkan prinsip kepemimpinan kolektif.

Ketua KPK, katanya, hanya berperan sebagai ketua ketika memimpin rapat dan ketika menghadiri acara protokoler kenegaraan. Ketua KPK bukan penentu keputusan.

"Saya melihat inilah yang terjadi di KPK sesudah saya tinggal," kata Ruki yang kini menjadi Komisaris Utama PT Krakatau Steel.

Ruki melihat ada sentralisasi kekuasaan pada kepemimpinan KPK periode kedua. Hal itu menimbulkan penurunan kepercayaan di dalam KPK.

"Kepercayaan pegawai kepada pimpinan hancur-hancuran," kata Ruki yang masih sering berkunjung ke KPK itu.

Penurunan kadar kepercayaan kepada pimpinan KPK juga disebabkan oleh kasus pembunuhan yang diduga melibatkan Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar. Terpaan kasus berlanjut dengan hembusan isu suap kepada sejumlah pimpinan KPK terkait kasus dugaan korupsi yang sedang ditangani.

Antasari kini telah berstatus tersangka pembunuhan Nasruddin Zulkarnain, Direktur PT Putera Rajawali Banjaran, dan beberapa pimpinan KPK diduga menerima suap dari Anggoro Wijoyo, pengusaha yang terjerat kasus korupsi.

Selain meruntuhkan kepercayaan pegawai, menurut Ruki, berbagai kasus itu juga mengakibatkan kepercayaan masyarakat kepada KPK nyaris sirna.

Berdasar pengalaman dan pergaulannya dengan sejumlah kalangan, Ruki berani menyimpulkan kepercayaan masyarakat kepada KPK sudah semakin menipis.

Menurut Ruki, kepercayaan publik yang telah terbangun, hancur berantakan hanya karena dugaan pembunuhan dan isu suap yang belum tentu benar.

Menanggapi berbagai isu yang menerpa, pimpinan KPK akhirnya angkat bicara. Mereka membantah menerima suap. Mereka juga menegaskan, penetapan Antasari Azhar sebagai tersangka tidak berpengaruh pada kinerja KPK.

"Kami tetap bekerja seperti biasa," kata Wakil Ketua KPK M Jasin.

Jasin menegaskan, KPK memilih untuk tetap bekerja tanpa perlu terprovokasi dengan berbagai isu yang memojokkan. Kalaupun harus memberikan tanggapan, pimpinan KPK memilih untuk melakukannya dalam koridor hukum.

Namun, dalam berbagai kesempatan, pimpinan KPK tidak pernah menyinggung krisis kepercayaan para pegawai terhadap pimpinan.

Taufiequrrahman Ruki mengatakan, usaha KPK harus bisa lebih besar, atau paling tidak sama dengan opini publik yang terlanjur tergiring wacana yang menyudutkan lembaga itu.

Untuk itu, kata dia, pimpinan KPK harus memiliki kualitas keteladanan untuk meyakinkan anak buah untuk bekerja lebih giat, demi merebut kembali kepercayaan masyarakat.

Penghayatan kode etik secara mendalam akan menjadi salah satu kunci bagi pimpinan untuk tidak terjerumus pada pelanggaran hukum, sehingga bisa menjaga kepercayaan bawahan.

Menurut Ruki, KPK tidak perlu terpuruk dalam hempasan isu yang melemahkan karena pada kenyataannya pekerjaan pimpinan KPK jilid kedua ini tidak seberat pekerjaan pimpinan KPK pada awal berdirinya lembaga itu.

Pimpinan KPK hanya perlu mempertahankan kepercayaan publik dan pegawai, tanpa dipusingkan dengan urusan gedung dan sumber daya manusia, seperti yang dialami Ruki dan lima mantan pimpinan lainnya.

Ruki membayangkan, pegawai KPK akan menangis dan memeluk ketika sang pimpinan mengakhiri masa bakti, seperti yang dia alami dulu. (*)

Oleh Oleh Fx Lilik Dwi Mardjianto
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009